Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami
telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami
telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta (TQS al-Ankabut [29]: 2-3).
Terbukti Iman atau Dusta
Demikianlah. Keimanan yang benar pasti akan melahirkan ketaatan terhadap syariah-Nya. Oleh karena itu, keterikatan dan ketaatan terhadap syariah bisa dijadikan sebagai tolok keimanan seseorang. Ketika seseorang senantiasa terikat dan taat terhadap syariah, sesulit dan seberat apa pun, keimanannya telah terbukti benar. Sebaliknya, ketika tidak mau taat, apalagi menolak, tentulah keimanannya patut diragukan. Semoga kita termasuk orang yang benar. Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.
Banyak
orang merasa cukup ketika menyatakan diri sebagai Mukmin. Seolah
pengakuan iman tidak mengandung konsekuensi bagi pelakunya. Padahal,
pengakuan iman itu masih harus dibuktikan dalam bentuk sikap dan
tindakan ketika menghadapi ujian dan cobaan. Ayat di atas memberitakan
keniscayaan adanya ujian bagi pengakuan iman setiap orang untuk
membuktikan kebenarannya.
Harus Diuji
Allah SWT berfirman: Aha-siba al-nâs an yutrakû an yaqûlû âmannâ wahum lâ yuftanûn (apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan [saja] mengatakan: "Kami
telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?). Ada beberapa riwayat
mengenai sabab al-nuzûl ayat ini. Meskipun demikian, ayat ini tidak
hanya berlaku untuk mereka. Sebab, kata al-nâs memberikan makna umum yang berarti meliputi seluruh manusia.
Kata hasiba dalam ayat ini bermakna zhanna (menduga, mengira). Sedangkan huruf hamzah di depannya merupakan istifhâm (kata tanya). Ibnu Katsir dan Sihabuddin al-Alusi menyimpulkan bahwa istifhâm dalam ayat ini bermakna inkâri (pengingkaran). Bisa juga, sebagaimana dinyatakan al-Syaukani, bermakna li al-taqrî' wa al-tawbîkh (celaan
dan teguran). Artinya, mereka tidak dibiarkan begitu saja mengatakan
telah beriman tanpa diuji dan dicoba seperti yang mereka kira. Mereka
benar-benar akan diuji untuk membuktikan kebenaran pengakuan iman
mereka.
Kata yuftanûn berasal dari kata al-fitnah.
Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para mufassir mengenai
kata tersebut. Mujahid, sebagaimana dikutip Ibnu Jarir, memaknainya lâ yuftanûn sebagai lâ yubtalûn (mereka diuji). Menurut al-Nasafi, pengertian al-fitnah di sini adalah al-imtihân
(ujian) yang berupa taklif-taklif hukum yang berat, seperti kewajiban
mening-galkan tanah air dan berjihad melawan musuh; melaksanakan
seluruh ketaatan dan meninggalkan syahwat; ditimpa kemis-kinan,
paceklik, dan berbagai musibah yang melibatkan jiwa dan harta; dan
bersabar meng-hadapi kaum kafir dengan berbagai makar mereka.
Jika
dikaitkan dengan nash lainnya, ujian yang diberikan Allah SWT itu
tidak selalu dalam bentuk yang berat dan dibenci. Ada juga ujian yang
menyenang-kan sebagiamana dalam firman-Nya: Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)
(TQS al-Anbiya' [21]: 35).
Semua
ujian itu berfungsi untuk membuktikan kebenaran iman seseorang.
Dijelaskan Ibnu Katsir bahwa ujian yang diberikan itu sesuai dengan
kadar keimanan pelakunya. Nabi SAW bersabda: Manusia yang paling berat
cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian
berikutnya dan berikutnya. Seseorang dicoba sesuai dengan (kadar)
agamanya. Ketika dia tetap tegar, maka ditingkatkan cobaannya (HR
al-Tirmidzi).
Menurut
Ibnu Katsir ayat ini sejalan dengan beberapa ayat lainnya, seperti
firman Allah SWT: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu,
dan belum nyata orang-orang yang sabar (TQS Ali Imran [3]: 142). Juga
QS al-Baqarah [2]: 214.
Terbukti Iman atau Dusta
Setelah menegaskan adanya cobaan untuk menguji keimanan manusia, Allah SWT berfirman: walaqad fatannâ al-ladzîna min qablihim
(dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka).
Ayat ini memberitakan bahwa ujian keimanan itu tidak hanya diberikan
kepada kalian, namun juga umat-umat terdahulu. Oleh karena itu, ujian
keimanan merupakan sunnatul-Lâh yang berlaku di setiap masa.
Dengan ujian dan cobaan itulah dapat diketahui pengakuan yang benar dan yang dusta. Allah SWT berfirman: falaya'lamannal-Lâh al-ladzîna shadaqû (maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar). Sebagai Dzat
Yang Maha Mengetahui, Allah SWT telah mengetahui semua peristiwa, baik
sebelum, sedang, maupun sudah terjadi. Oleh karena itu, al-'ilmu di sini dimaknai al-ru'yah. Hal ini sebagaimana makna lina'lama (agar Kami Mengetahui) dalam QS al-Baqarah [2]: 143) yang bermakna linarâ (agar Kami melihat). Menurut Ibnu Katsir, al-ru'yah (penglihatan) berkaitan dengan sesuatu yang ada. Sedangkan al-'ilm (pengetahuan) lebih dari itu, bisa menyangkut perkara yang ada maupun yang tidak ada.
Dalam
Alquran cukup banyak diberitakan tentang orang-orang yang mampu
membuktikan kebenaran imanan mereka sekalipun mendapatkan ujian yang
besar. Dalam QS al-Shaffat [37]: 101-108, misalnya, dikisahkan ketegaran
Ibrahim dan putranya dalam menghadapi al-balâ' al-mubîn (ujian
yang nyata), berupa perintah menyembelih putranya. Perintah tersebut
tentu merupakan ujian yang besar. Bagi Ibrahim, Ismail adalah perhiasan
dunia yang paling dicintainya. Sementara bagi Ismail, nyawanya adalah
harta paling berharga yang dia miliki. Namun mereka bersabar dengan
perintah tersebut. Setelah terbukti ketaatan mereka, Allah SWT pun
membatalkan perintah-Nya dan menebusnya dengan sembelihan yang besar.
Pembuktian
keimanan juga berhasil ditunjukkan para ahli sihir yang bertanding
dengan Musa as. Setelah melihat mukjizat Nabi Musa as, mereka segera
bersujud dan menyatakan beriman. Fir'aun pun mengancam mereka akan
memotong tangan dan kaki mereka secara silang dan menyalib mereka. Namun
mereka tidak gentar dan tidak berpaling menjadi kafir kembali meskipun
mendapatkan ancaman yang keras (lihat QS al-A'raf [7]: 115-126).
Dalam
QS al-Hasyr [59]: 8-9 juga diberitakan mengenai kebenaran iman kaum
Muhajirin dan Anshar. Kaum Muhajirin tetap tegar mencari karunia Allah
dan ridha-Nya; menolong agama Allah dan rasul-Nya sekalipun mereka
diusir dari kampung halaman dan harta mereka. Mereka pun disebut sebagai
al-shâdiqûn (orang-orang yang benar). Demikian pula kaum
Anshar yang dengan senang hati menerima kehadiran kaum Muhajirin. Bahkan
lebih meng-utamakan dari saudaranya atas diri mereka.
Allah SWT berfirman: wala-ya'lamanna al-kâdzibîn
(dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta). De-ngan
ujian tersebut, akan terlihat pula orang-orang yang dusta pengakuannya.
Pengakuan iman mereka hanya terbatas di mulut saja, tidak melebihi
kerongkongan. Dalam Alquran juga banyak dikisahkan tentang kaum yang
gagal membuktikan kebe-naran iman mereka.
Dalam
QS al-Baqarah [2]: 246 diceritakan mengenai Bani Israil yang meminta
agar diangkat seorang pemimpin untuk mereka. Mereka juga menegaskan
tidak akan keberatan jika diperintahkan untuk berperang di jalan-Nya.
Akan tetapi, ketika diangkat pemimpin dan perang benar-benar
diwajibkan, sebagian besar mereka berpaling.
Demikian
pula kaum Munafik di Madinah. Ketika Madinah dikepung pasukan kaum
Musyrikin, mereka mengatakan bahwa Allah SWT dan rasul-Nya hanya
menjanjikan tipu daya (lihat QS al-Ahzab [33]: 12). Tak hanya itu,
mereka bahkan memprovokasi penduduk Yatsrib untuk pulang dari medan
pe-rang. Padahal sebelumnya mereka tekah berjanji kepada Allah untuk
tidak mundur dari peperangan (lihat QS al-Ahzab [33]: 13, 15). Sikap
mereka itu menjadi bukti nyata bahwa keimanan mereka dusta. Allah SWT
pun berfirman: Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian
diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan
mereka tiada akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang
singkat (TQS al-Ahzab [33]: 14).
Demikianlah. Keimanan yang benar pasti akan melahirkan ketaatan terhadap syariah-Nya. Oleh karena itu, keterikatan dan ketaatan terhadap syariah bisa dijadikan sebagai tolok keimanan seseorang. Ketika seseorang senantiasa terikat dan taat terhadap syariah, sesulit dan seberat apa pun, keimanannya telah terbukti benar. Sebaliknya, ketika tidak mau taat, apalagi menolak, tentulah keimanannya patut diragukan. Semoga kita termasuk orang yang benar. Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.