Simson Ade Suseno
Kehilangan berkah dalam waktu adalah keluhan utama orang-orang kafir di akhirat. Seringkali Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika kiamat terjadi, semua manusia merasa bahwa hidup mereka di dunia sangat singkat. Sebagian mereka merasa hidup di dunia hanya sepuluh hari saja (Qs. Thaha [20]: 103) Sebagian yang lain merasa hanya satu hari atau setengah hari saja, “Allah bertanya: berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab: kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari..” (Qs Al-Mukminun [23]: 112-113).

Di antara mereka ada juga yang berkata bahwa masa hidup mereka di dunia hanya beberapa jam saja, “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (Qs. Al-Nazi’at [79]: 46). Sebagian yang lain bahkan berani bersumpah di hadapan Allah Swt bahwa mereka hanya tinggal di dunia satu jam saja, “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; mereka tidak berdiam (di dunia) melainkan sesaat (saja).” (Qs. Al-Ruum [30]: 55).

Apakah yang menyebabkan hilangnya keberkahan dalam waktu mereka (juga kita) ini? Imam Ibn Abi Jamrah dalam Syarh Al-Bukhari berkata, “Penyebabnya adalah lemah iman dan menyebarnya berbagai pelanggaran syariat di berbagai bidang, salah satunya dalam hal makanan. Kita semua tahu sifat haram dan syubhat yang terdapat di makanan kita. Seringkali manusia tidak peduli (tentang hal ini) sehingga tanpa ragu-ragu mengambil makanan yang haram setiap kali ada kesempatan. Padahal keberkahan dalam waktu, rizki dan tumbuhan hanya datang melalui kekuatan iman dan ketundukan terhadap perintah dan larangan. Dalilnya firman Allah ta’ala: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (Al-A’raf [7]: 96).

Lemah iman memang membawa kepada berbagai maksiat dalam pekerjaan seperti melakukan korupsi, menerima rasuah dan lain-lain. Padahal perbuatan ini hanya memberi keuntungan semu yang akan sirna dalam masa singkat. Seorang wali Allah pada abad kesepuluh hijrian di Mesir Syeikh Afdhaluddin pernah berkata, “Pengkhianatan (dalam pekerjaan) menghapus berkah sebagaimana haram menghapus halal. Barangsiapa berkhianat dalam satu dirham, Iblis akan menyeretnya untuk berkhianat dalam seribu dirham. Begitu juga pencurian. Setiap pencuri yang kami temui, kami melihat bahwa keberkahan hilang dari usia, harta dan agamanya.”

Tak ada keberkahan selama haram menjadi santapan kita. Sebab makanan yang haram atau syubhat selalu menghalangi manusia untuk menggunakan waktunya dengan efektif. Fenomena malas dan tidur ketika beribadah, menuntut ilmu dan bekerja lahir akibat konsumsi makanan seperti ini. Imam ahli hakikat Syeikh Abu Al-Hasan Asy Syadzili berkata, “Kami telah membuktikan bahwa tak ada obat yang paling mujarab untuk mengusir kantuk selain memakan halal dan menjauhi haram atau syubhat. Barangsiapa memakan haram dan syubhat, banyak tidurnya.”

Dan barangsiapa yang banyak tidurnya, berarti ia telah membuang-buang waktunya dengan sia-sia. Para ulama sepakat bahwa tidur yang melebihi kebutuhan dapat merusak mental dan kesehatan pelakunya, juga meluputkan dirinya daripada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu, Imam Al-Sya’rani berkata, “Aku selalu menyesal untuk setiap tidur yang aku lakukan baik waktu siang ataupun malam. Sebab semua kesempurnaan berada dalam kesadaran dan terjaga. Barangsiapa yang suka tidur, berarti ia menyukai kekurangan, meniru orang mati, lalai dari amal kebaikan dan melewatkan keuntungan duniawi dan ukhrawinya.”

Tak ada keberkahan selama riba menjadi sumber rizki kita. Sebab Allah Swt berjanji, “Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 276). Imam Fakhruddin Al-Razi di dalam Tafsir-nya berkata, “Ketahuilah bahwa Allah memusnahkan riba; dapat terjadi di dunia juga di akhirat. Adapun di dunia, dapat terjadi dengan berbagai cara. Salah satunya; orang yang mengambil riba meskipun hartanya berlimpah biasanya ia akan jatuh miskin pada akhir hayatnya dan hilang keberkahan dari hartanya. Nabi Saw bersabda: Riba meskipun banyak akan mengecil.”

Sayyid Qutb menulis, “Orang yang hendak memikirkan hikmah Allah dan kesempurnaan agama ini dapat melihat kebenaran firman Allah ini lebih jelas daripada orang-orang yang mendengar firman ini pertama kali. Realitas dunia di depan matanya membenarkan setiap kalimat dari ucapan ini. Berbagai bangsa yang sesat dan memakan riba tertimpa berbagai musibah yang membinasakan sistem etika, agama, kesehatan dan perekonomian mereka.”

Sikap Kita

Jika kita telah menyadari bahwa keberkahan telah hilang, maka sungguh merugi jika kita membuang-buang waktu yang memang sudah sedikit itu. Sebaliknya, kita harus mampu menggunakan waktu ini dengan baik untuk berprestasi di dunia dan mengumpulkan bekal hidup di akhirat. Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Segala sesuatu yang ingin kau bawa ke akhirat, siapkan dari sekarang. Dan sesuatu yang tidak ingin kau bawa, tinggalkan dari sekarang.”

Apalagi Rasulullah Saw memberitakan bahwa kondisi ini akan bertambah buruk pada masa-masa yang akan datang. Beliau bersabda –sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dari Anas bin Malik, “Tidaklah datang kepadamu sebuah zaman, melainkan zaman yang setelahnya lebih buruk dari itu hingga kamu berjumpa dengan tuhanmu.”

Beliau juga bersabda, “Cepatlah kalian beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti kegelapan malam. Pada saat itu, seseorang mukmin pada pagi hari lalu kafir petang harinya. Ia mukmin pada petang hari lalu kafir pada pagi harinya. Ia menjual agamanya demi sedikit harta dunia.” (Ibn Hibban dan Al-Hakim dari Abu Hurairah).
Label: , |
Simson Ade Suseno

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga selalu ter­lim­pah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Seorang penun­tut ilmu, tentu tidak meng­inginkan ilmunya hilang begitu saja tanpa bekas. Ter­lebih lagi, jika yang hilang itu adalah keber­kahan ilmunya. Alias ilmu yang dipelajarinya tidak menam­bah dekat dengan Allah ta’ala, namun jus­tru sebalik­nya, wal ‘iyadzu billah.

Tidak sedikit, kita jum­pai para penun­tut ilmu syar’i yang ber­usaha untuk meng­kaji kitab para ulama, bahkan ber­majelis dengan para ulama dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka. Tentu saja, per­kara ini adalah sesuatu yang sangat-sangat harus kita syukuri. Karena dengan kokoh­nya ilmu dalam diri setiap pribadi mus­lim, niscaya agamanya akan ter­topang lan­dasan yang kuat. Sering kita dengar, ucapan yang sangat populer dari seorang Imam, Amirul Muk­minin dalam bidang hadits, Muham­mad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahih­nya yang menegaskan, “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.” 

Begitu pula, per­kataan Imam Ahlus Sun­nah di masanya Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang sangat ter­kenal, “Umat manusia sangat mem­butuhkan ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka ter­hadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan sebanyak hem­busan nafas.” (lihat al-’Ilmu, fadh­luhu wa syarafuhu, tahqiq Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah).

Akan tetapi…, tat­kala ilmu yang dikaji, dihafalkan, dan didalami itu tidak sam­pai meresap serta ter­tan­cap kuat ke dalam lubuk hati, maka jus­tru musibah dan ben­cana yang ditemui. Tidak­kah kita ingat ung­kapan emas para ulama salaf yang menyatakan, “Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya ter­dapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya ter­dapat kemiripan dengan Nas­rani.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id min Surah al-Fatihah oleh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah). Apa yang mereka katakan adalah kenyataan yang amat sering kita jum­pai. Itu bukanlah dongeng atau cerita fiksi.

Saudaraku, semoga Allah men­jaga diriku dan dirimu… Masih ter­simpan dalam ingatan kita, doa yang sepan­jang hari kita pan­jatkan kepada Allah, “Ya Allah, tun­jukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan­nya orang-orang yang Eng­kau ber­ikan nik­mat atas mereka, dan bukan jalan­nya orang-orang yang dimur­kai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nas­rani).” Inilah doa yang sangat ring­kas namun penuh dengan arti. Bahkan, Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah pun menyebut­nya seba­gai doa yang paling ber­man­faat, meng­ingat kan­dungan­nya yang sangat dalam dan ber­guna bagi setiap pribadi. Kaum Yahudi dimur­kai karena mereka ber­ilmu namun tidak ber­amal. Adapun kaum Nas­rani ter­sesat karena mereka ber­amal tanpa lan­dasan ilmu. Maka, orang yang ber­ada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.

Dari sinilah, kita meng­etahui, bahwa hakekat keil­muan seseorang tidak diukur dengan banyak­nya hafalan yang dia miliki, banyak­nya buku yang telah dia beli, banyak­nya kaset ceramah yang telah dia koleksi, banyak­nya ustadz atau bahkan ulama yang telah dia kenali, tidak juga deretan titel akademis yang dibang­gakan kesana-kemari. Kita masih ingat, ucapan sahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu, “Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyak­nya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah khas-yah/rasa takut –kepada Allah-.” (lihat al-Fawa’id karya Ibnul Qayyim rahimahullah).

Oleh sebab itulah, kita dapati para ulama salaf sangat keras dalam ber­juang meng­gapai keikh­lasan dan menaklukkan hawa nafsu serta ambisi-ambisi duniawi. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, beliau ber­kata, “Tidaklah aku menyem­buhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.” (lihat Hilyah Thalib al-’Ilm oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu rah­matan wasi’ah).  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ber­sabda, “Sesung­guh­nya setiap amal itu dinilai ber­dasarkan niat­nya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barang­siapa yang hijrah­nya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrah­nya itu akan sam­pai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang­siapa yang hijrah­nya karena [per­kara] dunia yang ingin dia gapai atau per­em­puan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrah­nya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Mus­lim).

Ikh­las, bukanlah ucapan yang ter­lon­tar di lidah, huruf yang ter­tulis dalam catatan, banyak­nya harta yang telah kita sum­bangkan untuk kebaikan, lamanya waktu kita ber­dakwah, atau penam­pilan fisik yang tam­pak oleh mata. Ikh­las adalah ‘per­mata’ yang ter­simpan di dalam hati seorang muk­min yang meren­dahkan hati dan jiwa-raganya kepada Rabb penguasa alam semesta. Inilah kunci keselamatan dan keber­hasilan yang akan men­jadi sebab ter­bukanya ger­bang keten­traman dan hidayah dari Allah ta’ala. Allah ta’ala ber­firman (yang artinya), “Orang-orang yang ber­iman dan tidak men­cam­puri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mem­peroleh keamanan dan mereka itulah orang-orang yang men­dapatkan hidayah.” (QS. al-An’am: 82). Allah ber­firman (yang artinya), “Pada hari [kiamat] tidak lagi ber­guna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang meng­hadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88–89). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ber­sabda, “Sesung­guh­nya Allah tidak meman­dang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipan­dang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Mus­lim). Semen­tara kita semua meng­etahui, bahwa tanpa keikh­lasan tak ada amal yang akan diterima, Allahul musta’an.

Kita juga masih ingat, nasehat emas Ahli Hadits kon­tem­porer yang sangat ter­kenal Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak men­jadi orang yang mem­buru popularitas. Beliau meng­utip ung­kapan para ulama kita terdahulu, Hubbuzh zhuhur yaqtha’uzh zhuhur, “Menyukai ‘keting­gian’ akan mematahkan pung­gung.Mak­nanya, gila popularitas akan menyebabkan kebinasaan, kurang lebih demikian… Allah ber­firman (yang artinya), “Ber­ikanlah per­ingatan, sesung­guh­nya per­ingatan itu akan ber­guna bagi orang-orang yang ber­iman.” (QS. adz-Dzariyat: 55).

Ikh­las -wahai saudaraku- … adalah rahasia kesuk­sesan dakwah nabi dan rasul serta para pen­dahulu kita yang salih. Ber­apapun jum­lah orang yang tun­duk meng­ikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai ber­hasil dan telah menunaikan tugas­nya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, mes­kipun ayah­nya  sen­diri produsen ber­hala, mes­kipun anak­nya sen­diri menolak per­in­tah Rabbnya, mes­kipun paman­nya sen­diri tidak mau masuk Islam yang diserukan­nya, mes­kipun tidak ada pengikut­nya kecuali satu atau dua saja, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali…! Mereka, adalah suatu kaum yang men­dapatkan pujian dan keutamaan dari Allah karena keikh­lasan dan ketaatan mereka kepada Rabbnya, karena ilmu dan amalan yang mereka miliki. Allah ta’ala ber­firman (yang artinya), “Barang­siapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan ber­sama dengan kaum yang men­dapatkan kenik­matan dari Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)

Kalau kita memang ikh­las -wahai saudaraku- niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita men­dapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain… Kalau kita memang ikh­las -wahai saudaraku- maka amalan sekecil apapun tidak akan per­nah kita sepelekan! Ibnu Mubarak rahimahullah meng­ingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang men­jadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar men­jadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab). Semoga Allah mem­berikan karunia keikh­lasan kepada kita...
Label: , |
Simson Ade Suseno
Suatu hari ketika ulama besar bernama Al-Imam Al-Faqih Abu Lais tengah berjalan-jalan di dekat kota Bashrah, berkumpullah sekelompok orang di dekat beliau, mereka datang mengajukan satu pertanyaan…imam..kami ingin bertanya di dalam Al-Qur’an itu Allah SWT menjelaskan Ud’uni Astajiblakum (berdo’alah kepada Ku maka akan Aku jawab do’a mu, mintalah kepada Ku akan Aku kabulkan permintaan mu) itu dan begitu janji Allah dalam Al-qur’an. Kami (mereka) sudah lama berdo’a kepada Allah, kenapa sampai sekarang do’a kami belum dikabukan, katanya jika kamu berdo’a maka akan aku kabukan..itu janji Allah, pagi siang, sore, malam..terus berdo’a, tapi nyatanya do’a kami sampai sekarang belum dikabulkan…ini bagaimana Imam ? apa Al-Qur’an salah, apa Tuhan pura-pura tidak dengar atau do’a kami terbalik….sebenarnya sepele aja ini, do’a tidak di dengar oleh Allah, permohonan tidak dikabulkan oleh Allah, tapi sebenarnya kalau kita mau merenung “kemalangan apa yang paling besar dalam kehidupan ini, selain dari pada kalau permohonan dan do’a kita sudah tidak dihiraukan oleh Allah” artinya hidup sudah tidak diopeni/tidak dihiraukan oleh Allah.

Menanggapi pertanyaan ini Imam Al-Faqih Abu Lais tersenyum kemudian berkata: “tuan-tuan tahu kenapa do’a tuan-tuan tidak mau dijawab, permohonan tidak dikabulkan, ‘tidak tahu”. Allah sudah tidak memperdulikan tuan-tuan ini” mereka menjawab: kami tidak tahu tuan, karena itu kami bertanya” Al-Imam Al-Faqih mengatatakan:
"Begini..hati tuan-tuan itu mati, dari hati yang mati cenel tidak nyambung kepada Allah, maka bagaimana mungkin do’a tuan-tuan dikabulkan ? hati mu mati..pantai kalau permohonan tidak dipenuhi, pemintaan tidak dikabulkan, do’a tidak dijawab".

Dari hati yang mati ini getaran tidak akan sampai ke Hadratullah Azza Wajalla, nah..ini juga penyakit yang harus kita waspadai, tatkala hati mati, jasad masih hidup, artinya jadilah kita bangkai berjalan di hadapan Allah swt. Sementara kita disibukkan dengan menggali berbagai macam jenis obat penangkal penyakit dzahir, dan kita kurang perhatian mencari obat penangkal penyakit banthin yang kalau diserang penyakitnya menghacurkan kehidupan abadi diakhirat nanti. 

Perkembangan ilmu kedokteran, nyata benar diikuti dengan perkembangan jenis-jenis penyakit, makin maju ilmu kedokteran makin modern penyakit, dulu kita tidak kenal yang namanya aids, tidak kenal kencing manis, lever.Kemudian mereka bertanya lagi: “yang menyebabkan hati kami mati apa Imam?” beliau menjawab :

Pertama :
Yang menyebabkan hati mu jadi mati, kamu kenal benar kepada Allah, tapi haknya untuk disembah, kewajiban untuk menyembah, tidak pernah kamu laksanakan, bagiamana Allah tidak akan jauh dari kita, kalau kita tidak mendekat, melakukan pendekatan, dan pendekatan kepada-Nya hanya bisa kita lakukan melalui jalur kegiatan ritual ibadah, Allah akan terlalu jauh apabila kita hanya membicarakannya lewaf filasafat dan renungan yang mendalam, tapi Allah akan dekat dan terasa hadir dalam hidup apabila kita dekati dengan pelaksanaan ibadah kepadanya. Tanpa pendekatan Allah akan menjauh.
Oleh sebab itu logika mengajarkan kepada kita berpayah-payah dulu, Inna ma’al Yusri Yusra (dibalik kesulitan, menunggu kemudahan), nikmat akan terasa, kelezatan hidupan baru akan terasa seelah kita jerih payah, bantin tulang, peras keringat.

Kedua,
Kamu baca Al-Qur’an, tapi ajarannya tidak pernah kamu amalkan, kamu baca Al-Qur’an tapi isinya kamu injak-injak, sehingga ada peringatan dari Rasul SAW. beliau bersabda :
Tiga peringatan keras, yang merupakan gejalan penyakit kita umat Islam, diperingatkan oleh Nabi kita:

Pertama :
Apabila umat ku telah mengagung-agungkan dunia, apabila umat ku telah jatuh menjadi umat yang materialistic, segalanya diukur dari sudut keduniaan saja
Maka akan dicabutlah dari mereka kehebatan Islam, hilang kehebatan Islam apabila kita jautuyh menjadi umat pengagung dunia, penyembah materi, keberadaan kita tidak dihargai orang. Orang memandang kita remah saja, karena kita menjadikan dunia tujuan, padahal dunia hanya alat, materi cuma alat, harta cuma alat.

Yang kedua:
“Apabila telah ditinggalkan amar ma’ruf dan nahyi munkar, maka hilanglah keberkahan wahyu” ini ada hubungannya dengan kita…kita baca al-Qur’an tapi kita tidak amalkan isinya, bagaimana hati tidak menjadi mati. Amar ma’ruf dan nahi munkar ditinggal orang…hilang keberkahan wahyu, pada saat itu boleh jadi Al-Qur’an ada, tapi cuma tinggal tulisan saja, Islam ada, tapi tinggal hanya nama saja, di seminarkan, di muktamarkan, tapi tidak pernah dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Peringatan ketiga dari Nabi :
Apabila umat ku sudah saling berbantahan, apabila umat ku sudah saling caci memaki, Jatuhlah mereka dalam pandangan Allah SWT.
Maka kita kembali kepada persoalan, hal kedua yang menjadikan hati jadi mati
Kita baca Al-Qur’an, tapi ajaran nyaris tidak kita amalkan di dalam kehidupan kita, akibatnya hati lalu jadi mati…itu yang kedua.

Yang ketiga, yang menyebabkan hati menjadi mati dan do’a tidak terjawab.
Kamu mengaku, kamu memproklamirkan diri sebagai umatnya Nabi Muhammad, tapi sunnahnya tidak pernah kau amalkan, malah perkambangan terakhir bukan mengamalkan sunnah, malah mengingkari sunnah (inkar sunnah.
Bagiaman hati tidak menjadi mati apabila tiap hari kita proklamirkan diri sebagai umat nabi Muhammad sementara sunnahnya kita campakkan dan kita ingkari. Padahal jikalau sekarang kita mengenal Islam, jikalau kita sekarang mengerti, tahu halal haram, bisa memilih antara yang ma’ruf dan yang munkar, itu semua karena jasa Nabi Muhammad SAW. Yang dari generasi ke generasi, dilanjutkan oleh para sahabat, oleh tabi’in, oleh tabi’in tabi’in, terus oleh para ulama-ulama sampai kepada kita sekarang ini. Walaupun beliau berfungsi sebagai penyampai tapi keperibadiannya dijadikan model oleh Allah SWT di dalam kita melaksanakan kehidupan beragama.
Di dalam diri Rasulullah itu, terdapat suri tauladan yang baik bagi kita, Oleh karena itu, pada pertemuan kali ini, apabila kita konsekuen mengaku umat Nabi Muhammad, mari konsekuen juga menegakkan sunnahnya.

Keempat : yang menyebabkan hati menjadi mati dan do’a tidak dikabulkan:
Tiap hari kamu makan nikmat Tuhan Mu, tapi kamu tidak mau bersyukur kepada-Nya kepada Allah SWT.
Tidak pernah sehari dan sesaat pun terlepas diri dan hidup ini dari nikmat-nikmat yang diberikan Allah, sejak kita tidur, bangun, dan tidur kembali bahkan tidur itu sendiri, di pasar, di sawah, di kantor, dimanapun kita berada tidak pernah nikmat Allah berhenti. Hidup kita di alam ini, diberikan kita fasilitas untuk menunjang kehidupan, tidak pernah Allah pasang pajak matahari, tidak pernah Allah pasang pajak gas udara. Nikmat-nikmat yang banyak itu, tiap hari kita nikmati, tapi kita tidak pandai bersyukur, padahal Allah swt memberikan peringatan keras dalam hadits Qudsinya.

Siapa yang tidak mau bersyukur terhadap nikmat yang Aku berikan kepadanya, dan tidak mau bersabar tehadap ujian yang Aku berikan kepadanya, silahkan keluar saja dari kolom langit ini, dan cari Tuhan selain Aku.

Diusir oleh Allah, kalau orang tidak mau bersyukur terhadap nikmat yang Aku berikan, dan tidak mau bersabar terhadap ujian yang aku timpakan, keluar dari kolom langit Ku, keluar…cari Tuhan selain Aku.
Diusir kita oleh Allah…kalau kita diusir dari Jakarta, kita masih boleh pindah ke Malang, diusir kita dari Malang boleh pindah ke Bandung, diusir kita dari Indonesia, bisa pindah ke singapur, Malaysia, diusir kita dari kolom langit, mau cari langit dimana.

Nikmat yang kamu makan, nikmat dari Ku, tapi kepada Ku kamu tidak bersyukur, keluar…keluar dari kolom langit Ku…dan cari Tuhan selain Aku.Wajar…dulu kita tidak ada, sekarang ada…nikmat, susunan biologis manusi kita demikian cantik…nikmat, tinggal di bumi, fasilitas yang kita perlukan disediakan tinggal kemampuan kita mengelolanya…nikmat, diberikan kita otak yang membedajkan kita dengan binatang…nikmat, diberikan kita agama, diutus para Rasul untuk menjadi model dalam kehidupan kita…nikmat. Bukan cuma syukur dalam ucapan, tapi juga syukur dalam perbuatan, banyak nikmat yang diterima, makin banyak dia sujud, makin banyak rukuk, makin banyak dia mengdakan pendekatan kepada Allah. Syukur dalam artian tindakan dan perbuatan, mempergunakan nikmat sesuai dengan kehendak yang memberikan nikmat itu sendiri kepada kita

Ini adalah penyakit yang keempat, kamu makan nikmat Tuhan mu, tapi kamu tidak pandai bersyukur kepada-Nya, bagaimana hati tidak jadi mati, dan do’a tidak dijawab.

Penyakit kelima sampai sepuluh, bisa kita jelaskan pada tulisan berikutnya, bahwa do’a kita tidak dijawab, dan hati kita mati dapat disimpulkan bahwa :
  1. Kita kenal Allah, tapi kita tidak mau memenuhi haknya
  2. Kita baca Al-Qur’an tapi kita tidak mau mengamalkan ajarannya
  3. Mengaku sebagai umat Nabi Muhammad, tapi engga melaksanakan sunnahnya
  4. Tiap hari kamu makan nikmat Tuhan Mu, tapi kamu tidak mau bersyukur kepada-Nya kepada Allah SWT.
Semoga kita tidak termasuk pada golongan yang empat tadi…amien, dan semoga Allah senantiasa memelihara diri kita, iman kita sehingga kita selalu pandai bersukur kepada-Nya. Wallahu a’lam bi al Showab.
Label: , |
Simson Ade Suseno
Sungguh berbeda Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Lihatlah manusia, ketika ada orang meminta sesuatu darinya ia merasa kesal dan berat hati. Sedangkan Allah Ta’ala mencintai hamba yang meminta kepada-Nya. Sebagaimana perkataan seorang penyair:

الله يغضب إن تركت سؤاله وبني آدم حين يسأل يغضب
“Allah murka pada orang yang enggan meminta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta ia marah”

Ya, Allah mencintai hamba yang berdoa kepada-Nya, bahkan karena cinta-Nya Allah memberi ‘bonus’ berupa ampunan dosa kepada hamba-Nya yang berdoa. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

يا ابن آدم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي
“Wahai manusia, selagi engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, aku mengampuni dosamu dan tidak aku pedulikan lagi dosamu” (HR. At Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits hasan shahih’)

Sungguh Allah memahami keadaan manusia yang lemah dan senantiasa membutuhkan akan Rahmat-Nya. Manusia tidak pernah lepas dari keinginan, yang baik maupun yang buruk. Bahkan jika seseorang menuliskan segala keinginannya di kertas, entah berapa lembar akan terpakai.

Maka kita tidak perlu heran jika Allah Ta’ala melaknat orang yang enggan berdoa kepada-Nya. Orang yang demikian oleh Allah ‘Azza Wa Jalla disebut sebagai hamba yang sombong dan diancam dengan neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Berdoalah kepadaKu, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Ghafir: 60)

Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Maha Pemurah terhadap hamba-Nya, karena hamba-Nya diperintahkan berdoa secara langsung kepada Allah tanpa melalui perantara dan dijamin akan dikabulkan. Sungguh Engkau Maha Pemurah Ya Rabb.

Berdoa Di Waktu Yang Tepat
Diantara usaha yang bisa kita upayakan agar doa kita dikabulkan oleh Allah Ta’ala adalah dengan memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang dijanjikan oleh Allah bahwa doa ketika waktu-waktu tersebut dikabulkan. Diantara waktu-waktu tersebut adalah:

1. Ketika sahur atau sepertiga malam terakhir
Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang berdoa disepertiga malam yang terakhir. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya:

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون
“Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18)
Sepertiga malam yang paling akhir adalah waktu yang penuh berkah, sebab pada saat itu Rabb kita Subhanahu Wa Ta’ala turun ke langit dunia dan mengabulkan setiap doa hamba-Nya yang berdoa ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا ، حين يبقى ثلث الليل الآخر، يقول : من يدعوني فأستجيب له ، من يسألني فأعطيه ، من يستغفرني فأغفر له
“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758)

Namun perlu dicatat, sifat ‘turun’ dalam hadits ini jangan sampai membuat kita membayangkan Allah Ta’ala turun sebagaimana manusia turun dari suatu tempat ke tempat lain. Karena tentu berbeda. Yang penting kita mengimani bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, karena yang berkata demikian adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diberi julukan Ash shadiqul Mashduq (orang jujur yang diotentikasi kebenarannya oleh Allah), tanpa perlu mempertanyakan dan membayangkan bagaimana caranya.

Dari hadits ini jelas bahwa sepertiga malam yang akhir adalah waktu yang dianjurkan untuk memperbanyak berdoa. Lebih lagi di bulan Ramadhan, bangun di sepertiga malam akhir bukanlah hal yang berat lagi karena bersamaan dengan waktu makan sahur. Oleh karena itu, manfaatkanlah sebaik-baiknya waktu tersebut untuk berdoa.

2. Ketika berbuka puasa
Waktu berbuka puasa pun merupakan waktu yang penuh keberkahan, karena diwaktu ini manusia merasakan salah satu kebahagiaan ibadah puasa, yaitu diperbolehkannya makan dan minum setelah seharian menahannya, sebagaimana hadits:

للصائم فرحتان : فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه
“Orang yang berpuasa memiliki 2 kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-Nya kelak” (HR. Muslim, no.1151)

Keberkahan lain di waktu berbuka puasa adalah dikabulkannya doa orang yang telah berpuasa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم
‘”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi” (HR. Tirmidzi no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi)

Oleh karena itu, jangan lewatkan kesempatan baik ini untuk memohon apa saja yang termasuk kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Namun perlu diketahui, terdapat doa yang dianjurkan untuk diucapkan ketika berbuka puasa, yaitu doa berbuka puasa. Sebagaimana hadits :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)” (HR. Abu Daud no.2357, Ad Daruquthni 2/401, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232)
Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan lafazh berikut:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
adalah hadits palsu, atau dengan kata lain, ini bukanlah hadits. Tidak terdapat di kitab hadits manapun. Sehingga kita tidak boleh meyakini doa ini sebagai hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. 

Oleh karena itu, doa dengan lafazh ini dihukumi sama seperti ucapan orang biasa seperti saya dan anda. Sama kedudukannya seperti kita berdoa dengan kata-kata sendiri. Sehingga doa ini tidak boleh dipopulerkan apalagi dipatenkan sebagai doa berbuka puasa.

Memang ada hadits tentang doa berbuka puasa dengan lafazh yang mirip dengan doa tersebut, semisal:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim”. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341): “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga di-dhaif-kan oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Atau doa-doa yang lafazh-nya semisal hadits ini semuanya berkisar antara hadits dhaif atau munkar.

3. Ketika malam lailatul qadar
Malam lailatul qadar adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Malam ini lebih utama dari 1000 bulan. Sebagaimana firmanAllah Ta’ala:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam Lailatul Qadr lebih baik dari 1000 bulan” (QS. Al Qadr: 3)

Pada malam ini dianjurkan memperbanyak ibadah termasuk memperbanyak doa. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ummul Mu’minin Aisyah Radhiallahu’anha:

قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني
“Aku bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, menurutmu apa yang sebaiknya aku ucapkan jika aku menemukan malam Lailatul Qadar? Beliau bersabda: Berdoalah:

اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني
‘Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dan menyukai sifat pemaaf, maka ampunilah aku‘”(HR. Tirmidzi, 3513, Ibnu Majah, 3119, At Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih”)

Pada hadits ini Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha meminta diajarkan ucapan yang sebaiknya diamalkan ketika malam Lailatul Qadar. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan lafadz doa. Ini menunjukkan bahwa pada malam Lailatul Qadar dianjurkan memperbanyak doa, terutama dengan lafadz yang diajarkan tersebut.
Label: , |
Simson Ade Suseno
Syurga adalah suatu pembalasan yang agung, pahala tertinggi bagi hamba Allah yang taat. Syurga merupakan suatu kenikmatan sempurna. Tidak ada sedikit pun kekurangannya. Tidak ada kemuraman di dalamnya.

Penggambaran syurga yang difirmankan Allah Ta'ala dan disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, memang hampir tidak mampu kita gambarkan dengan otak dan imajinasi kita yang terbatas ini. Betapa sulit membayangkan kenikmatan yang demikian besar. Sungguh kemampuan imajinasi kita akan terbentur pada keterbatasannya.
Kita cuba ungkapkan dalam angan hadits Qudsi yang menceritakan tentang gambaran syurga berikut ini:
أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
"Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang soleh sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga, dan tak pernah terlintas di hati manusia." Kalau kalian mau bacalah,
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Maka seorang pun tak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan," {As-sajdah: 17}. (HR. Muttafaq 'alaih)

Allah Subhanahu wa Ta'ala menentukan hari masuknya ke syurga pada waktu tertentu dan memutuskan jatah hidup di dunia pada batas waktu tertentu, serta menyiapkan di dalam syurga berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan terlintas dalam hati.

إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ غُدْوَةً وَعَشِيًّا إِمَّا النَّارُ وَإِمَّا الْجَنَّةُ فَيُقَالُ هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى تُبْعَثَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian meninggal dunia, maka tempat tinggalnya diperlihatkan kepadanya setiap pagi dan petang. Jika ia penghuni syurga, maka ia adalah penghuni syurga. Jika ia penghuni neraka, maka ia adalah penghuni neraka. Kemudian dikatakan, “Inilah tempat tinggalmu,” hingga Allah Ta’ala membangkitkanmu pada hari Kiamat nanti.” (HR. Bukhari-Muslim)

Sungguh, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam telah melihat di dekatnya terdapat syurga tempat tinggal, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, hadits dari Anas radliyallah 'anhu dalam kisah Isra’ dan Mi'raj. Pada akhir hadits tersebut dijelaskan:

Jibril berjalan terus hingga di Sidratul Muntaha dan ternyata Sidratul Muntaha ditutup dengan warna yang tidak aku ketahui." Kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih lanjut, “Kemudian aku masuk ke dalam syurga dan ternyata di dalamnya terdapat kubah dari mutiara dan tanahnya beraroma kesturi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Simaklah sebuah sya'ir tentang syurga:
Kalian, wahai penghuni syurga, kalian di surga ini
tetap dalam kenikmatan dan tak pernah terputus
dan hidup terus dan tidak akan mati
Kalian berdomisili di sini terus dan tak akan pindah tempat
Dan kalian muda terus serta tidak tua

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ

Dan orang-orang yang bertakwa kepada Rabbnya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke syurga itu sedang pintu-pintunya talah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, “Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, berbahagialah kalian! Maka masukilah syurga ini, sedang kalian kekal di dalamnya.” (QS. Az-Zumar: 73)

Cubalah renungkan ketika kelompok di atas digiring menuju tempatnya di suyrga secara berkelompok. Kelompok yang bahagia bersama dengan saudara-saudaranya. Mereka digiring dengan bersatu padu. Masing-masing dari mereka terlibat dalam amal perbuatan dan saling kerjasama dengan kelompoknya, serta memberi kabar gembira kepada orang-orang yang hatinya kuat sebagaimana di dunia pada saat mereka bersatu dalam kebaikan. Selain itu, setiap orang dari mereka akrab dengan lainnya dan saling canda antar sesamanya.

جَنَّاتِ عَدْنٍ مُفَتَّحَةً لَهُمُ الْأَبْوَابُ مُتَّكِئِينَ فِيهَا يَدْعُونَ فِيهَا بِفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ وَشَرَابٍ

(Iaitu) Syurga Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka. Di dalamnya mereka bertelekan (di atas dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman di syurga tersebut.” (QS. Shaad: 50-51)

Anda perhatikan bahwa ada makna indah pada ayat di atas, iaitu ketika mereka telah masuk ke dalam syurga, maka pintu itu tidak tertutup bagi mereka dan dibiarkan terbuka lebar. Sedangkan neraka, jika para penghuninya telah masuk ke dalamnya, maka pintu-pintu neraka langsung ditutup rapat bagi mereka. Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ

Sesungguhnya api itu di tutup rapat bagi mereka.” (QS. Al-Humazah: 8)
Dibiarkannya pintu-pintu syurga terbuka untuk para penghuninya adalah isyarat bahwa mereka dapat bergerak secara leluasa. Serta masuknya para malaikat setiap waktu kepada mereka dengan membawa hadiah-hadiah dan rezeki untuk mereka dari Rabb mereka serta apa saja yang manggembirakan mereka dalam setiap waktu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Di syurga terdapat delapan pintu. Ada pintu yang namanya Ar-Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:

مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang berinfak dengan sepasang (unta atau kuda atau lainnya) di jalan Allah maka ia dipanggil dari pintu-pintu syurga. “Wahai hamba Allah, ini adalah yang terbaik.” Barangsiapa yang termasuk ahli solat, maka ia dipanggil dari pintu solat. Barangsiapa termasuk ahli jihad, maka ia dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa termasuk ahli sedekah, maka ia masuk dari pintu sedekah. Dan barangsiapa termasuk sebagai ahli puasa, maka ia dipanggil dari pintu Ar-Rayyan." Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, bapak dan ibuku sebagai tebusannya, apakah orang ini dipanggil dari pintu-pintu tersebut? Adakah orang dipanggil dari semua pintu tersebut?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Ya, dan aku berharap engkau termasuk dari mereka.” (HR. Bukhari)

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ - أَوْ فَيُسْبِغُ - الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ

Siapa di antara kalian yang berwudhu kemudian menyempurnakan wudhunya lalu membaca ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WARASUULUHU, melainkan dibukakan baginya pintu-pintu suyrga yang berjumlah delapan dan ia masuk dari mana saja yang ia sukai.” (HR. Muslim)

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ لَهُ ثَلاَثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ إِلاَّ تَلَقَّوْهُ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ دَخَلَ

Jika seorang Muslim mempunyai tiga orang anak yang belum baligh kemudian meninggal dunia, maka mereka menjumpainya di pintu-pintu syurga yang delapan dan ia bebas masuk dari pintu mana saja yang ia sukai.” (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga menjelaskan tentang jarak pintu syurga seraya bersabda:

… Demi Muhammad yang jiwanya ada di Tangan-Nya, jarak antara dua daun pintu syurga adalah seperti Makkah dan Hajar atau Hajar dan Makkah.” (HR. Bukhari)

Dalam redaksi lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Antara Makkah dan Hajar atau Makkah dengan Bushra.” (Hadits ini kesahihannya disepakati oleh pakar hadits)

Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “kalian adalah penyempurna tujuh puluh umat. Kalian adalah umat yang terbaik dan termulia di sisi Allah. Jarak di antara dua daun pintu syurga adalah empat puluh tahun. Pada suatu hari ia akan penuh sesak.” (HR. Ahmad)

Pintu yang dimasuki penghuni syurga jaraknya adalah sejauh perjalanan tiga kali lipat pengembara dunia yang ahli. Kemudian penghuni syurga memenuhinya hingga pundak mereka nyaris lengkap.” (HR. Abu Nu’aim)

Mudah-mudahan kita semua diizinkan oleh Allah menjadi orang-orang yang senantiasa istiqamah di dalam meniti hidup dan kehidupan ini, sehingga ketika ruh ini dicabut oleh-Nya, kita menerima anugerah husnul khatimah, sehingga kita termasuk dan dimasukkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke dalam golongan hamba-Nya yang dipanggil dengan penuh kelembutan:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي

Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku.masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30) Amin, ya mujibas-sa’ilin.

[Sumber: Buku Seri Taujihat Pekanan Jilid 2]
Label: , |
Simson Ade Suseno
Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”

Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah S.a.w. berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersama-sama denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Ra., “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”

Setelah Rasulullah S.a.w. mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Ra. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,

“Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti ,Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil, Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah ,Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil”
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah.

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”

AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”

Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan nafas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”

Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat.”

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..BiIal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

literatur : islam2u.net
Label: , |