Simson Ade Suseno
Aku sering kali menggerutu, seperti tidak puas dengan apa yang telah diberikan Tuhan kepadaku. Tak jarang aku bertanya-tanya, Tuhan kenapa Engkau ciptakan aku sebagai perempuan yang begitu lemah dan terbatas dalam segala hal. Ingin ku taklukkan gunung yang tinggi lalu berenang menyebrangi lautan dalam, dan pergi jauh berkenala sampai keujung dunia. Kenyataanya, aku bahkan tak kuat mendaki bukit kecil, tak punya keberanian untuk menyeberangi sungai dan bahkan enggan meninggalkan kamar.

Ku perhatian perempuan-perempuan itu, mereka hanya bisa berkeluh kesah di kala resah. Berlinangkan air mata ketika gundah. Siapa sangka ternyata keluh kesah dan air mata bisa menaklukkan hati mereka, ya mereka yang bisa menaklukkan gunung tinggi, dan menyeberangi lautan dalam. Ingat hati itu adalah raja ketika hati bisa ditaklukkan tentunya semua menjadi dibawah kendali.

Aku lupa, wanita itu adalah hiasan dan sebaik-baik hiasan adalah wanita salihah. Ya aku lupa ternyata hiasan itu fungsinya menyenangkan hati. Mereka yang berkeluh kesah hanya kepada sang pemilik Hati. Dengan keistimewaan yang dianugrahkanNya berupa rahim yang membuat mereka bisa memberikan sesuatu yang lebih dari jenis selain mereka.

Malu, malu, malu hanya itu setelah aku menyadari ternyata keistimewaan itu telah disematkan Tuhan kepada makhluk berjenis perempuan, hati, tutur kata, dan gerak langkah yang berbalut kelembutan. Kekuatan takkan bisa dikalahkan dengan kekuatan tapi kekuatan bisa dikalahkan dengan kelembutan.

Merekalah muslimah yang ketika berperan menjadi seorang anak maka mereka akan menjadi lambang kehormatan, kebanggaan orangtua dan seluruh keluarganya. Seorang wanita shalihah lebih baik daripada 70 orang wali dan juga lebih baik daripada 70 lelaki shaleh. Mulianya menjadi perempuan, ketika mereka berperan sebagai istri maka mereka menjadi pelengkap setengah diin bagi suaminya. Bahkan hanya dengan melayani suami dengan baik saat pulang dalam keadaan letihpun mendapat pahala jihad dari TuhanNya. Dan ketika mereka berperan menjadi seorang ibu, tidur yang tidak nyenyak karena menjaga anak yang sedang sakit akan mendapat pahala seperti membebaskan 20 orang hamba dan bila dia menghibur hati anaknya Tuhan membalasnya dengan memberikan 12 tahun pahala ibadat. Subhanallah, siapa yang tidak akan cemburu?

Bolehkah aku cemburu
Apa sebenarnya cemburu itu? Banyak yang pernah merasakan tapi masih susah saat mendefinisikan. Pengertian paling sederhana adalah rasa tidak  suka karena sikap dan perbuatan pasangan dengan orang lain. Ketika suami berjalan, berboncengan berduaan dengan wanita ajnabi, seorang istri sholihah pasti cemburu. Istri sholihah pun akan cemburu ketika didapati suaminya tengah asyik bersms, berbbm, berfesbuk ria dengan wanita asing. Ini cemburu yang benar, cemburu karena Allah pun cemburu dengan perilaku seorang suami seperti itu. Mungkin bagi sebagian orang biasa, bukan masalah, tapi tidak bagi wanita sholihah. Islam telah mengatur sedemikian rupa bagaimana interaksi antar lawan jenis, sekalipun di dunia maya. Islam melarang berdua-duaan karena yang ketiganya adalah setan. Islam pun mengajarkan interaksi pria wanita hanya dalam tiga hal, pengobatan, pendidikan dan jual beli. Itupun masih lebih afdol dilakukan sesama jenis, kecuali sikon tak memungkinkan.

Cemburu, sebuah rasa yang Allah hadirkan sebagai suatu bentuk ujian pada manusia. Sama seperti cinta, sakit, dan luka. Dan yang namanya perasaan pasti berada di bawah kendali manusia. Memilih untuk diikuti, berarti cemburu yang menguasai kita, atau memilih untuk dikelola yang berarti cemburu berada di bawah kekuasaan kita.

Sejatinya ada dua jenis cemburu, yaitu cemburu yang Allah sukai dan yang tidak Allah sukai. Rasulullah bersabda: “Rasa cemburu ada yang disukai Allah dan ada pula yang tidak disukai-Nya. Kecemburuan yang disukai Allah adalah yang disertai alasan yang benar. Sedangkan yang dibenci ialah yang tidak disertai alasan yang benar (cemburu buta).” (HR. Abu Daud).

Alasan yang benar disini misalnya adalah karena pasangan melakukan pelanggaran syariat sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits berikut:
Sa’ad bin Ubadah ra berkata: “Seandainya aku melihat seorang pria bersama istriku, niscaya aku akan menebas pria itu dengan pedang.” Nabi saw bersabda: “Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa`ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa`ad dan Allah lebih cemburu daripadaku” (HR Bukhari Muslim).

Bisa juga karena pasangan tidak memperhatikan hak-hak suami atau istrinya. Seperti yang melanda banyak orang di era serba digital seperti sekarang ini, yang memunculkan istilah, ” yang jauh semakin dekat, yang dekat menjadi jauh.” Misal, istri yang lebih mengutamakan melayani sms, bbm pria lain daripada memanfaatkan waktu memperhatikan suaminya. Atau suami yang lebih suka memilih membangunkan wanita lain untuk tahajud dan sahur daripada memperhatikan istrinya. Atau suami lebih memilih mengirim sms nasihat agama pada wanita yang bukan istrinya. Sekalipun ada hak suami untuk taaruf lagi, bukan berarti hak istri boleh diabaikan. Apalagi bila interaksi antar lawan jenis sudah bukan dalam koridor taaruf dan di luar tiga hal yang dibolehkan syara, seperti saling menanyakan kabar, minta didoakan, minta dibawakan oleh-oleh dan semisalnya.
“Sesungguhnya Allah cemburu, orang beriman cemburu, dan cemburuNya Allah jika seorang Mu’min melakukan apa yang Allah haramkan atasnya” (HR. Imam Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).
Rosulullah sendiri tidak akan membiarkan jika cemburu itu mendorong perbuatan yang diharamkan seperti mengghibah.  Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu (pendek)”.  Rasulullah berkata: “Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air laut, niscaya akan dapat mencemarinya” (HR Abu Dawud).

Ketika mendapatkan Shafiyyah menangis Nabi bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?.”  Shafiyyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi”. Nabi berkata menghiburnya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Lalu bagaimana dia membanggakan dirinya terhadapmu?”.  Kemudian beliau menasihati, “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah” (HR An Nasa’i).

Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghindari perasaan cemburu buta :
1. Selalu mengikatkan hati, lisan dan perbuatan pada aturan Allah. Ucapkan hanya kalimat-kalimat yang baik pada pasangan sekalipun sedang cemburu, sebab ucapan pun adalah doa. Hindari dari lisan yang mencaci maki, menghujat apalagi menghinakan, karena pasti akan menyakiti hati pasangan.

2. Perbanyaklah berdzikir untuk menenangkan hati. Sibukkan diri dengan membaca alquran, dan kalimah dzikrulloh yang dituntunkan seperti subhanAllah alhamdulillah laa illaha illAllah Allahu Akbar.

3. Memilih sabar dalam mengendalikan cemburu. Sesungguhnya sabar adalah penolong dan memiliki pahala tanpa batas.

4. Berdoa memohon pertolongan Allah SWT dan membasahi hati serta lisan dengan istighfar. Pahami bahwa tanpa Allah, kita tak punya daya apa-apa.

5. Selalu mengingat mati. Ini akan menjaga kita dari memilih perbuatan dosa dan mendholimi pasangan.

6. Bersikap qona’ah, menerima segala ketentuan Allah dengan lapang dada. Cemburulah hanya jika Allah pun cemburu.

7. Bersyukur pada pasangan. Ingatlah segala kebaikannya dan maafkan kekhilafannya yang tidak disengaja. Sadari seutuhnya pasangan pun manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan keterbatasan.

8. Membangun kepercayaan dan keterbukaan dengan pasangan. Panggillah pasangan dengan kata-kata yang indah dan penuh cinta, seperti rosululloh memanggil humaira pada ibunda Aisyah.

9. Jauhi sifat dan perilaku dendam, apalagi dengan memanfaatkan kelembutan dan kebaikan hati pasangan. Jauhi mengandalkan bisikan setan seperti ini, “Sedendam apapun aku, sedholim apapun aku….suatu saat nanti, beberapa tahun lagi…ia pasti akan memaafkanku dan membuka pintu hati untukku…karena cintanya padaku..selalu ada cara ia tak bisa melupakanku….ia akan kembali padaku.” Hemm sayang kita hidup di dunia nyata, bukan sinetron. Jadi berhentilah bermimpi dan berangan-angan.

10. Jadilah manusia yang kuat, yang mampu menundukkan diri sendiri. Sederas apapun angin menerpa, sekuat apapun tekanan menghujam, sebesar apapun badai dan gelombang menghantam jangan pernah bawa dan menceritakan masalah pribadi dan pasangan pada orang lain, dunia luar yang sejatinya tak tahu apa-apa tentang kehidupan kita. Kita adalah pakaian bagi pasangan. Menyebarkan aib pasangan sama saja dengan mempertontonkan aib diri sendiri. Jangan salahkan siapapun jika suatu saat nanti bisa menusuk balik pada diri kita. Ingatlah sebuah peribahasa, “mulutmu adalah harimaumu..” mulut kita sendiri yang justru akan menerkam diri.

11. Senantiasa melakukan introspeksi diri. Jujurlah untuk menilai diri sendiri dengan patokan hukum syara. Katakan benar jika memang benar, dan berbesar hatilah mengakui jika memang salah. Jangan pernah menjadikan orang lain sebagai kambing hitam atas pilihan perbuatan kita, atas apa yang terjadi pada kita atau atas maksiat/ketidaktaatan yang pernah kita lakukan. Ali bin Abu Tholib menasihati, ” kalau lupa dengan kesalahan diri, maka kesalahan orang lain akan lebih besar terlihat.” WAllahu’alam
Label: ,