Ruhul jihad yang membara di setiap dada para mujahid. Mereka hanya mendambakan upah dari Rabbnya. Surga. Di pelupuk mata para mujahid itu terbayang indahnya janji Allah Azza Wa Jalla, yang sangat menyenangkan. Mereka berlomba mendapatkannya. Siang malam para mujahid berperang melawan orang-orang kafir, tanpa henti-henti. Mereka berlomba menyosong datangya kematian, yang akan membawanya kepada kemuliaan di sisi-Nya.
Akhirnya,
daratan Eropa dikenal dengan ‘Balad Syuhada’ (tanah bagi para syuhada), karena
banyaknya para mujahid yang syahid di daratan itu. Para mujahid yang gagah dan
berani, serta ikhlas, mereka mendambakan janji dari Rabbnya, terus maju,
memasuki jantung Eropa, itulah sekelumit kisah para Tabi’in, yang ditulis oleh
Abdurrahman Rafat Basya.
Semangat
jihad yang belum pernah dalam sejarah penaklukan. Kecuali saat itu. Hampir
seluruh daratan Eropa menjadi milik umat Islam. Karena kecermalangan para
pemimpinnya, dan ketangguhan para mujahid, yang berperang dengan pasukan Eropa.
Mereka memenangkannya. Spanyol dan Perancis telah takluk. Perjuangan mereka
terus memasuki daratan Eropa, hingga menjelang Jerman.
Kemenangan
pasukan Islam, saat Bani Umayyah dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz. Usai
pemakaman pamannya Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, dan Umar usai pula
membersihkan tangannya dari tanah-tanah, Khalifah yang baru itu, mengganti
sejumlah gubernur. Diantara pejabat baru yang dilantik itu, As-Samah bin Malik
al-Khaulani yang bertanggung jawab atas seluruh Andalusia, yang sekarang adalah
Spanyol, dan beberapa wilayah Perancis.
As-Samah
bin Malik al-Khaulani bercita-cita menggambungkan daratan Andalusia (Spanyol)
dengan Perancis. Maka, langkah pertama yang dilakukannya menaklukan Norbone,
yang dekat dengan Spanyol. Pasukan Islam yang dipimpin Al-Khaulani itu menyisir
pegunungan Pyrenees menuju kota Norbonne. Kota ini menjadi kunci untuk memasuki
kota-kota Perancis lainnya.
Seperti
biasanya pasukan Islam sebelum menaklukan kota itu, memberikan pilihan kepada
penduduk, mereka memeluk Islam atau membayar jizyah. Tetapi mereka menolak
untuk memeluk Islam dan membayar jizyah. Karena mereka menolak, perang tak
dapat dielakkannya, dan kota itu dikepung selama empat pekan, dan akhirnya
menyerah, sesudah terjadi pertempuran yang sangat dahsyat yang belum pernah
terjadi di sepanjang sejarah Eropa.
Sasaran
berikutnya adalah Toulouse, yang menjadi ibukota Octania. Pasukan Islam yang
sudah berada di dekat wilayah itu, masuk dengan menggunakan senjata yang belum
pernah mereke kenal, dan hampir kota jatuh ke tangan muslimin, tetapi terjadi
peristiwa yang menghambat kemenangan.
Tatkala
itu, Raja Octania yang mengunjungi para raja-raja di seluruh Eropa, mengajak
mereka bergabung menghadapi pasukan Islam, yang dipimpin Al-Khaulani, yang
sudah berada diambang pintu, dan mengancam Octania. Berkumpullah pasukan Salib
yang berjumlah sangat besar. Untuk mengambarkan itu, sampai seorang sejarawan
mengatakan, betapa gemuruh pasukan Salib itu, hingga debu-debu yang mengepul
menutupi kota Rhone, siang yang terang oleh matahari itu, menjadi gelap akibat
debu, dari kaki-kaki pasukan Raja Octania.
Perang
yang tak terelakkan. Gemuruh perang begitu dahsyat. Dua pasukan bertemu, dan
As-Samah bin Malik Al-Khaulani selalu berada di garis depan. Pada pertempuran
yang sangat dahsyat itu, As-Samah terkena panah, dan robohnya panglima
tertinggi yang perkasa itu, dan menemui syahidnya.
Saat
terdengar panglimanya As-Samah gugur, pauskan Islam menjadi kocar-kacir, di
saat itu pula, tampil, seorang generasi tabi’in, yang ada, mengambil alih
kepeimpian dari As-Samah, yang tangguh dan disegani bernama Abdurrahman
al-Ghafiqi. Dengan lahirnya panglima perang yang baru itu, berhasil di
selamatkan pasukan Islam, yang mengalami kepanikan itu. Mereka yang
tercerai-berai.
Abdurrahman
Al-Ghafiqi itu mempunyai cita-cita yang sama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya,
seperti Musa bin Nushair hingga As-Samah bin Malik Al-Khaulani, yang ingin
menaklukkan Spanyol, Perancis, Italia, Jerman, hingga Konstantinopel. Dan,
Abdurrahman yakin akan dapat mewujudkan impiannya itu.
Suatu
senja Abdurrahman Al-Ghafiqi mengundang seorang dzimmi keturunan Perancis yang
terikat dengan perjanjian. Lalu, Abdurrahman bertanya, “Mengapa raja kalian,
Carll tidak turun untuk membantu raja-raja lainnya yang berperang dengan
kami?”, tanya Al-Ghafiqi. “Wahai gubernur, anda telah menepati janji kami. Anda
berhak kami percayai”, ucap seorang dzimmi itu.
Musa
bin Nushair telah berhasil menaklukkan Spanyol. Kemudian ingin melanjutkan
perluasan wilayahnya sampai menjangkau Perancis, melewati Pyerennes. Perjuangan
itu berlanjut, yang akan menentukan masa depan Islam di daratan Eropa.
Sebuah dialog raja-raja kecil dengan Maha Raja, yang mempunyai
pengaruh di daratan Eropa, dan dia berkata, “Masalah ini sudah saya pikirkan secara mendalam dan saya mengira
untuk saat ini tidak perlu menghadapi mereka secara langsung.Mereka orang-orang
yang bermental baja. Mereka kaum yang memiliki aqidah yang kokoh, sehingga tak
menghiraukan jumlah dan senjata. Mereka mempunyai iman dan kejujuran yangjauh
lebih berharga dibandingkan senjata, pakaian perang atau kuda. Karena itu,
lebih baik kita membiarkan mereka, kaum muslimin terus menumpuk harta dan
ghanimah, lalu membangun rumah dan gedung –gedung serta melipatgandakan jumlah
budak laki-laki dan perempuan dan lihatlah, mereka akan berebut kekuasaan. Pada
saat itu itu kita bisa menaklukan mereka dengan mudah tanpa banyak pengorbanan”, ucap
Maha Raja itu.
Mendengar
dialog itu, Abdurrahman Al-Ghafiqi sangat terkejut. Betapa, beliau sudah
mengelilingi kota-kota dan desa-desa di wilayah Andalusia, dan mendidik mereka
dengan iman, tetapi Maha Raja itu, masih dapat mengatakan akan mengalahkannya,
hanya akibat umat Islam terlena oleh banyaknya ghanimah.
Tetapi,
sejarah menyatakan, dan inilahnya pahitnya kehidupan, yang tak dapat ditolak
oleh siapapun, perjalanan kehidupan kaum muslimin selalu ada orang-orang yang
terlena oleh kehidupan dunia. Ini terjadi yang tidak dapat dipungkiri.
Seandainya bukan harta dan kehidupan duniawi, daratan Eropa sudah menjadi
negeri-negeri muslim.
Pengkhianatan
itu, pertama terjadi oleh Utsman bin Abi Nus’ah, amir penjaga perbatasan yang
dipercaya oleh panglima perang Abdurrahman Al-Ghafiqi. Padahal, ia dipercaya
untuk memimpin pasukan inti diperbatasan untuk menghadapi musuh. Tetapi,
pilihan Abdurrahman itu keliru, dan orang yang dipercaya itu, berkhianat, dan
karena ambisinya itu, dan lalu menculik puteri Raja Octania, yang bernama
Minnin. Minnin terkenal sangat jelita, berdarah bangsawan, masih belia, dan
sebagai penghuni istana. Puteri Minnin inilah yang membuat Utsman bin Abi Nus’ah
tergila-gila.
Utsman
bin Abi Nus’ah yang dipercaya oleh Abdurrahman Al-Ghafiqi , akibat sudah
tergila-gila dengan kecantikan puteri Minnin, kemudian ia membuat perjanjian
perdamaian dengan Raja Octania. Dan, Utsman memberi jaminan keamanan kepada
Raja Octania.
Begitulah,
ketika datang perintah untuk menyerbu wilayah Octania, maka Utsman bin Abi
Nus’ah menjadi bimbang untuk melaksanakannya. Kabar yang sampai ke telinga
Abdurrahman Al-Ghafiqi menjadi sangat marah, akibat pengkhiatan yang dilakukan
oleh Utsman. “Perjanjian yang anda lakukan yang anda lakukan tidak sah, maka
tidak ada keharusan prajurit Islam mentaatinya”, ujar Abdurrahman.
Selanjutnya,
panglima perang Islam, itu mengirimkan pasukan untuk menangkap pengkhianat
Utsman bin Abi Nus’ah. Pasukan yang diutus itu berhasil menaklukan dengan
pertempuran diatas gunung, dan Utsman bin Nus’ah dengan berbagai tusukan
pedang. Sedangkan Minnin, puteri Raja Octania itu tertangkap, kemudian di kirim
ke Damaskus. Saat melihat puteri Minnin itu, Abdurrahman Al-Ghafiqi memalingkan
wajahnya, karena puteri itu terlalu cantik.
Perang
terus berkecamuk memperebutkan wilayah Perancis, yang luas, dan pasukan
berhasil menguasai kota-kota penting. Raja Octania yang lolos itu, kembali
berperang dengan jumlah pasukan yang lebih besar. Kemenangan oleh pasukan
Islam, memasuki wilayah Perancis, seperti Lyon, Boerdeaux, yang merupakan pintu
masuk yang sangat penting mengausai Perancis, dan hanya seratus mil lagi masuk
kota Paris. Dunia Eropa sangat tersentak melihat Perancis selatan telah
dikuasai pasukan Islam yang dipimpin Abdurrahman al-Ghafiqi.
Ghanimah
begitu melimpah. Bangunan tenda-tenda yang besar- besar sudah tidak dapat
menampung lagi ghanimah dari haisl peperangan itu. Tetapi, panglima perang
Abdurrahman Al-Ghafiqi terus bertempur dengan gagah berani, menyapu pasukan
Salib, yang ingin mencoba mengahalanginya. Dan, akhirnya kota Tours, kota
Perancis yang sangat indah, penuh dengan bangunan tua yang sangat indah dan
menyimpan berbagai benda yang berharga.
Ketika
itu, saat bulan Sya’ban 104 Hijriyah Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama pasukan
yang perkasa memasuki kota Poiters. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa
yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang yang amat dahsyat antara kedua belah
pihak, yang kemudian dikenal dengan : Balad Syuhada’. Karena banyaknya para
syuhada yang gugur dimedan perang ini.
Saat
inilah pasukan Islam mulai terpecah konsentrasinya, apalagi Karl Martel
menyiasati dengan melalui belakang menyerang tempat-tempat penyimpanan
ghonimah, tenda-tenda yang ada di tempat padang yang sangat luas itu dibakar
oleh pasukan Karel Martel.
Sungguh
sangat getir, ketika itu pasukan Islam dalam puncak kejayaannya,
punggung-punggung pasukan Islam sudah terlalu berat dengan beban ghanimah, yang
memberatkan gerak langkah mereka. Mereka tergoda dengan ghanimah, yang
menyebabkan melupakan tujuan mereka yang ingin mendapatkan kejayaan Islam, dan
kemuliaan di sisi-Nya. Di saat itu pula, tiba-tiba panglima perang Abdurrahman
Al-Ghafiqi tewas terkena panah.
Inilah
menandakan akhir dari satu episode perjuangan yang penuh dengan kemenangan,
akhirnya harus kandas, karena godaan duniawi. Andai kata mereka tidak tergoda
oleh duniawi, mungkin sekarang seluruh daratan Eropa sudah menjadi milik kaum
muslimin, sehingga pemeluknya bebas melaksanakan syariah-Nya. Tapi, Allah
memberikan ujian kepada kaum muslimin, dan gagal, menghadapi ujian itu.
Wallahu’alam. (Mh)