Simson Ade Suseno
Jiwa yang lelah..mulai merasuk dalam asa. Aku merasa hari-hariku kini penuh dengan derita. Bersyukurlah aku ketika dalam tak keberdayaanku ini, keluargaku sangat memperhatikanku.
Label: |
Simson Ade Suseno
Oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih


Mengangkat tangan dalam berdoa merupakan etika yang paling agung dan memiliki
keutamaan mulia serta penyebab terkabulnya doa.

Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari
hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam
keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Doa
2/78 No.1488, Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/68. Musnad Ahmad 5/438. Dishahihkan
Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa lafazh hayyun berasal dari lafazh haya'
yang bermakna malu. Allah memiliki sifat malu yang sesuai dengan keagungan
dzat-Nya kita beriman tanpa menggambarkan sifat tersebut. Lafazh kariim yang
berarti Maha Memberi tanpa diminta dan dihitung atau Maha Pemurah lagi Maha
Memberi yang tidak pernah habis pemberian-Nya, Dia dzat yang Maha Pemurah secara
mutlaq. Lafazh an yarudahuma shifron artinya kosong tanpa ada sesuatu. [Mur'atul
Mafatih 7/363]

Dari Anas Radhiyalahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak berdoa dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat Istisqa.
[Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa' 2/12. Shahih Muslim, kitab Istisqa' 3/24].

Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa hadits tersebut tidak menafikan berdoa
dengan mengangkat tangan akan tetapi menafikan sifat dan cara tertentu dalam
mengangkat tangan pada saat berdoa, artinya mengangkat tangan dalam doa istisqa'
memiliki cara tersendiri mungkin dengan cara mengangkat tangan tinggi-tinggi
tidak seperti pada saat doa-doa yang lain yang hanya mengangkat kedua tangan
sejajar dengan wajah saja.

Berdoa dengan mengangkat tangan hingga sejajar dengan kedua pundak tidaklah
bertentangan dengan hadits di atas sebab beliau pernah berdoa mengangkat tangan
hingga kelihatan putih ketiaknya, maka boleh mengangkat tangan dalam berdoa
hingga kelihatan ketiaknya, akan tetapi di dalam shalat istisqa dianjurkan lebih
dari itu atau mungkin pada shalat istisqa kedua telapak tangan diarahkan ke bumi
dan dalam doa selainnya kedua telapak tangan diarahkan ke atas langit.

Imam Al-Mundziri mengatakan bahwa jika seandainya tidak mungkin menyatukan
hadits-hadits diatas, maka pendapat yang menyatakan berdoa dengan mengangkat
tangan lebih mendekati kebenaran sebab banyak sekali hadits-hadits yang
menetapkan mengangkat tangan dalam berdoa, seperti yang telah disebut Imam
Al-Mundziri dan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab dan Imam Al-Bukhari dalam
kitab Adabul Mufrad. Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari 'Amarah
bin Ruwaibah bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangan dalam berdoa,
lalu mengingkarinya kemudian berkata : "Saya melihat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak lebih dari ini sambil mengisyaratkan jari telunjuknya.
Imam At-Thabari meriwayatkan dari sebagian salaf bahwa disunnahkan berdoa dengan
mengisyaratkan jari telunjuk. Akan tetapi hadits di atas terjadi pada saat
khutbah Jum'at dan bukan berarti hadits tersebut menafikan hadits-hadits yang
menganjurkan mengangkat tangan dalam berdoa. [Fathul Bari 11/146-147].

Akan tetapi dalam masalah ini terjadi kekeliruan, sebagian orang ada yang
berlebihan dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan, dan
sebagian yang lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali
waktu-waktu khusus saja, serta sebagian yang lain di antara keduanya, artinya
mengangkat tangan pada waktu berdoa yang memang dianjurkan dan tidak mengangkat
tangan pada waktu berdoa yang tidak ada anjurannya. Imam Al-'Izz bin Abdussalam
berkata bahwa tidak dianjurkan mengangkat tangan pada waktu membaca doa iftitah
atau doa diantara dua sujud. Tidak ada satu haditspun yang shahih yang
membenarkan pendapat tersebut.

Begitupula tidak disunahkan mengangkat tangan tatkala membaca doa tasyahud dan
tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan kecuali waktu-waktu yang dianjurkan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengangkat tangan. [Fatawa
Al-Izz bin Abdussalam hal. 47].

Syaikh Bin Bazz berkata bahwa dianjurkan berdoa mengangkat tangan karena
demikian itu menjadi penyebab terkabulnya doa, berdasarkan hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu kepada
hamba-Nya yang mengankat kedua tangannya (meminta-Nya), Dia kembalikan dalam
keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Hadits Riwayat Abu Dawud].

Dan sanda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti
memerintahkan kepada para rasul, Allah berfirman.

"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepada-Nya kamu menyembah". [Al-Baqarah : 172].

Dan firman Allah : "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan". [Al-Mukminuun : 51]

Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang lusuh mengangkat kedua tangannya ke
arah langit berdoa : 'Ya Rabi, ya Rabbi tetapi makanannya haram, minumannya
haram dan pakaiannya haram serta darah dagingnya tumbuh dari yang haram,
bagaimana doanya bisa dikabulkan .?" [Shahih Muslim, kitab Zakat 3/85-86]

Tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa seperti berdoa pada
waktu sehabis salam dari shalat, membaca doa di antara dua sujud dan membaca doa
sebelum salam dari shalat serta pada waktu berdoa dalam khutbah Jum'at dan Idul
fitri, tidak pernah ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengangkat tangan pada waktu waktu tersebut.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah panutan kita dalam segala hal,
apa yang ditinggalkan dan apa yang dilaksanakan semuanya suatu yang terbaik buat
umatnya, akan tetapi jika dalam khutbah Jum'at khatib membaca doa istisqa', maka
dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Shallallah 'alaihi wa sallam. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa', bab
Jamaah Mengangkat Tangan Bersama Imam 2/21].

Dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat sunnah tetapi lebih
baik jangan rutin melakukannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak rutin melakukan perbuatan tersebut dan seandainya demikian, maka pasti
kita menemukan riwayat dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlebih para
sahabat selalu menyampaikan segala tindakan dan ucapan beliau baik dalam keadaan
mukim atau safar.

Adapun hadits yang berbunyi :

"Artinya : Shalat adalah ibadah yang membutuhkan khusyu' dan berserah diri, maka
angkatlah kedua tanganmu dan ucapkanlah : Ya Rabbi, ya Rabbi". [Hadits Dhaif,
Fatawa Muhimmmah hal. 47-49].

Dan tidak dianjurkan mengangkat tangan dalam membaca doa thawaf sebab Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkali-kali melakukan thawaf tidak ada satu
riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau berdoa mengangkat tangan pada saat
thawaf.

Sesuatu yang terbaik adalah mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan sesuatu yang terburuk adalah mengikuti perbuatan bid'ah.

Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa.

Ibnu Abbas berpendapat bahwa cara mengangkat tangan dalam berdoa adalah kedua
tangan diangkat hingga sejajar dengan kedua pundak, dan beristighfar berisyarat
dengan satu jari, adapun ibtihal (istighasah) dengan mengangkat kedua tangan
tinggi-tinggi. [Sunan Abu Daud, bab Witir, bab Doa 2/79 No. 14950. Dishahihkan
oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud].

Imam Al-Qasim bin Muhammad berkata bahwa saya melihat Ibnu Umar berdoa di
Al-Qashi dengan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya dan
kedua telapak tangannya dihadapkan ke arah wajahnya. [Dishahihkan oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari 11/147. Dinisbatkan kepada AL-Bukhari dalam kitab Adabul
Mufrad tetapi tidak ada].

Ketahuilah Bahwa Doa Istisqa' Memiliki Dua Cara

Pertama.
Mengangkat kedua tangan dan mengarahkan kedua telapak tangan ke wajah,
berdasarkan dari Umair Maula Abi Al-Lahm bahwa dia melihat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam berdoa istisqa di Ahjari Zait dekat dengan Zaura' sambil
berdiri mengangkat kedua telapak tangannya tidak melebihi di atas kepalanya dan
mengarahkan kedua telapak tangan ke arah wajahnya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat
bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].

Kedua
Mengangkat tagan tinggi-tinggi dan mengarahkan luar telapak tangan ke arah
langit dan dalam telapak tangan ke arah bumi. Dari Anas bahwa beliau melihat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa saat istisqa dengan mengangkat
tangan tinggi-tinggi dan mengarahkan telapak tangan sebelah dalam ke arah bumi
hingga terlihat putih ketiaknya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain
fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu
Daud 1/226 No. 1035].


[Disalin dari buku Jahalatun nas fid du'a, edisi Indonesia Kesalahan Dalam
Berdoa oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, hal 61-69 terbitan Darul
Haq, penerjemah Zaenal Abidin Lc]
Label: , |
Simson Ade Suseno
Assalamu`alaikum. Apakah memakai cadar itu wajib? saya bingung, sebagian ulama memfatwakan wajib sebagian lagi tidak. Kalau dalam sunnah Rasulullah, apakah memakai cadar bagi wanita diperintahkan atau tidak? Apabila memang diperintahkan maka tolong berikan secara jelas bunyi hadisnya dan apakah hadis ini Shohih...... seorang teman saya berpendapat wanita lebih baik memakai cadar dengan alasan agar tidak menarik perhatian pria. Saya mohon jawaban dengan sejelas-jelasnya Wassalmu`alaikum Hafidz

Masalah kewajiban memakai cadar bagi wanita sebenarnya tidak sepenuhnya disepakati oleh para ulama. Sebagian ada yang mewajibkannya dan sebagian tidak sampai mewajibkannya. Maka wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya dengan didukung dengan sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga.

Dalam kajian ini, marilah kita telusuri masing-masing pendapat itu dan dengan dalil dan hujjah yang mereka ajukan. Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini secara bashirah dan wa`yu yang sepenuhnya.

Tujuannya bukan mencari titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang dasar isitmbath kedua pendapat ini agar kita bisa berbaik sangka dan tetap menjaga hubunngan baik dengan kedua belah pihak.

1. Kalangan Yang Mewajibkan Cadar.
Para ulama yang mewajibkan setiap wanita untuk bercadar menutup muka (memakai niqab) berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non mahram.

Jadi tidak sebagaimana

Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain :

a. Surat Al-Ahzab : 59
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

`Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu`min: `Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka`. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.` (QS. Al-Ahzah : 59)

Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada kesepakatan diantara mereka tentang makna `jilbab` dan makna `menjulurkan`.
Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di surat An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya), Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya.

Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik secara bahasa maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.

b. Surat An-Nuur : 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَ مَا ظَهَرَ

`Katakanlah kepada wanita yang beriman: `Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.` (QS. An-Nur : 31).
Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.

Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi dari para shahabat termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan `yang biasa nampak darinya` bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.

c. Surat Al-Ahzab : 53
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.`(QS. Al-Ahzab : 53)

Para pendukung kewajiban niqab juga menggu-nakan ayat ini untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski khitab ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena kepada semua wanita mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan dan contoh yang harus diikuti.

Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para istri nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka (istri nabi).

Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi nanti setelah beliau wafat. Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi dengan mengawini para janda istri Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra bila kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.

Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang agung.

Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas merupakan kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi. Tidak ada kaitannya dengan `al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah`. Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi. Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al fariq. Karena para istri nabi memang memiliki standar akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran.

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

`Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,` (QS. Al-ahzab : 32)

d. Hadits Larangan Berniqab bagi Wanita Muhrim
Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah menggunakan sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan Rasulullah SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
`Janganlah wanita yang sedang berihram menutup wajahnya (berniqab) dan memakai sarung tangan`.
Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para wanita itu memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin beliau melarangnya saat berihram.

Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan niqab dengan logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang untuk melakukan sesautu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang halal tadi menjadi haram. Kalau logika ini diterapkan dalam niqab, seharusnya memakai niqab itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa sebelumnya hukumnya wajib ?
Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan penutup wajah, memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah kewajiban. Dan ini adalah logika yang lebih tepat.

e. Hadits bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,
"Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya`.
Menurut At-turmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih. Oleh para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah.

f. Mendhaifkan Hadits Asma`.
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang berisi bahwa, `Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini` Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.

2. Kalangan Yang Tidak Mewajibkan Cadar

Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat salaf dari para shahabat Rasulullah SAW.

a. Ijma` Shahabat
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah batas aurat wanita.

b. Pendapat Para Fuqoha
Para fuqafa mengatakan bahwa wajah bukan termasuk aurat bagi wanita. Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang merdeka kecuali wajah dan tapak tangan.[1] Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.

Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu As-Shaghir` atau sering disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan termasuk aurat.
Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya `al-Muhazzab`, kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata bahwa mazhab (hanbali) tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat.[2]
Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.

c. Pendapat Para Mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.

d. Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan Oleh Hadits Lainnya
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun menghasankan hadits tersebut sebagai-mana tulisan beliau `hijab Al-Mar`ah Al-Muslimah`, `Al-Irwa`, Shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.

e. Perintah Kepada Laki-laki Untuk Menundukkan Pandangan.
Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: `Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat(QS. An-Nuur : 30)

Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan :
Janganlah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita) dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua adalah dosa`. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).
Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah menundukkan pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi. 
__________________________________________________________________________________
[1] Kitab Al-Ikhtiyar
[2] kitab Al-Mughni 1 : 1-6
Label: , |
Simson Ade Suseno
Ini kisahku tentang perjalanan hidup mencari arti tentang makna sebuah perjalanan banyak langkah yang telah ku lalui dan banyak kisah yang telah kutulis. Tapi masih ada sekeranjang kisah yang tak kumengerti setiap saat aku selalu mencari kata yang tepat mentuk menelaah semua itu tapi terlalu lama aku terdiam hanya sebait kisah yang dapat kutulis. Beribu kalam tertulis jelas dalam sebuah kehidupan tapi tak ada yang aku temukan sedikit cerita kemarin aku dongengkan pada nadirku....tapi dia pun hanya diam seolah tak pernah mengerti akan kisahku. Akhirnya kini aku hanya pasrah ketika nadi ini mulai berhenti berdenyut.
Label: |