Simson Ade Suseno
Pertanyaan:
Selamat siang hukumonline. Di perusahaan tempat kami berada, ada efisiensi tenaga kerja atau PHK. Tolong bantu hitung-hitungan pesangonnya soalnya kami kurang paham tentang dasar perhitungananya. Contoh Upah pokok kami Rp2.300.000. 
Ketentuan pesangon dapat kita jumpai dalam Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang berbunyi:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (“PHK”), pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Berikut di bawah ini kami akan uraikan beberapa pasal yang mengatur tentang uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak satu persatu.
Untuk mengetahui rumus perhitungan uang pesangon, kita merujuk pada ketentuan dalam Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan:
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagaiberikut:
a.    masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b.    masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c.    masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d.    masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e.    masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f.     masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g.    masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h.    masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i.     masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.”
Untuk mengetahui rumus perhitungan uang penghargaan masa kerja, kita merujuk pada ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan:
“Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a.    masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b.    masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c.    masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d.    masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e.    masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f.     masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g.    masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.    masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.”
Untuk mengetahui apa saja yang menjadi komponen perhitungan uang penggantian hak, kita merujuk pada ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan:
 “Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a.    cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.    biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.    penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.    hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.”
Pasal mengenai perhitungan hak-hak yang diterima pekerja dalam hal pekerja tersebut di-PHK karena efisiensi terdapat dalam Pasal 164 ayat (3) yang berbunyi:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Berdasarkan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, apabila PHK dilakukan oleh pengusaha karena perusahaan melakukan efisiensi, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Untuk memperjelas apa yang Anda tanyakan, sekiranya kami perlu berasumsi bahwa Anda telah bekerja di perusahaan tersebut selama 4-5 tahun. Selain itu, Anda mengatakan bahwa upah pokok Anda adalah sebesar Rp2.300.000. Jadi, jika berpedoman secara berurutan dari ketentuan pasal-pasal di atas dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 156 ayat (2) huruf e (masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah), dalam hal PHK karena efisiensi seperti kasus yang Anda hadapi ini, perhitungan uang yang berhak Anda peroleh adalah:
(Rp2.300.000 x 5) + (Rp2.300.000 x 2 x 1) + uang penggantian hak
Kemudian, berdasarkan Pasal 157 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon,terdiri atas:
a.    upah pokok;
b.    segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
Jadi, hasil penjumlahan ketiga hak yang Anda terima seperti yang tertera pada kotak di atas ditambah lagi dengan tunjangan tetap yang Anda terima dalam setiap bulannya.
Masalah PHK Karena Efisiensi
Ketentuan di atas berlaku dalam hal alasan perusahaan mem-PHK Anda benar-benar karena alasan efisiensi. Berdasarkan wawancara kami via telepon dengan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial, Juanda Pangaribuan, S.H., M.H, pengertian efisiensi itu harus diartikan secara benar. Tujuan efisiensi adalah penghematan, yakni penyelamatan keuangan perusahaan, salah satu contohnya adalah karena adanya restrukturisasi di perusahaan tersebut.
Jika memang benar perusahaan tempat Anda bekerja tersebut mem-PHK Anda atas dasar efisiensi, maka cara perhitungan hak-hak yang Anda terima adalah seperti yang kami uraikan di atas, mengingat Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi (“MK”) karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945(“UUD 1945”). Dalam hal ini, MK melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 164 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Selain itu, Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Artinya, untuk memberlakukan pasal ini dan penerapan pasal ini tidak diterapkan secara inkonstitusional, efisiensi tersebut dapat dilakukan jika perusahaan tutup secara permanen. Menurut Juanda, pasca dikeluarkannya putusan MK ini, Pasal 164 ayat (3) berlaku sepenuhnya jika alasan PHK adalah benar-benar karena efisiensi perusahaan dan ditutup secara permanen. Hal ini dinilai aneh karena yang namanya perusahaan tutup secara permanen, sudah bukan berarti efisiensi lagi. MK mengatakan bahwa apabila perusahaan tersebut tutup sementara, Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan ini dianggap inkonstitusional dan tidak dapat diberlakukan sepenuhnya.
Juandamenambahkan, sebelum ada Putusan MK tersebut, Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dianggap pasal keranjang sampah. Hal ini karena penekanan “efisiensi” tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Karyawan yang di-PHK oleh perusahaan hanya karena pekerja melakukan kesalahan atau karena pengusaha tidak menyukai karyawan tersebut tidak memiliki dasar hukum sehingga pengusaha “mencari-cari dasar hukum” sendiri dengan disebutlah alasannya karena efisiensi. Jadi pasal yang dipakai sebagai dasar hukum PHK pekerja tersebut adalah Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Padahal sebenarnya tujuan efisiensi itu sendiri adalah untuk penghematan, yakni penyelamatan keuangan perusahaan. Pasca putusan MK, banyak pengusaha berpikir dua kali untuk menggunakan pasal tersebut untuk melakukan PHK kalau alasannya tidak betul-betul karena efisiensi dan perusahaan tutup secara permanen.
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, perhitungan hak-hak (uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak) yang didapat oleh pekerja yang di-PHK karena efisiensi harus mengacu pada putusan MK tersebut, yang mana perusahaan tersebut juga harus tutup secara permanen. Jika alasan efisiensi tersebut dilakukan oleh perusahaan tempat Anda bekerja dan perusahaan tersebut tutup secara permanen, maka cara perhitungan hak-hak yang didapat oleh pekerja adalah sebagaimana yang kami jelaskan di atas.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan Editor:
Klinik hukumonline telah menanyakan pertanyaan ini melalui wawancara via telepon dengan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial, Juanda Pangaribuan, S.H., M.H. pada 31 Juli 2013 pukul 17.14 WIB
Dasar hukum:
Putusan:
Label: , |