Simson Ade Suseno
Meski menghadapi kebejatan moral kaum Yahudi, dengan sabar ia berhasil membawa kaumnya memasuki kota Baitul Maqdis.

Karena tidak mau berperang mengusir penjajah yang menduduki Palestina, kaum Yahudi di­hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala selama 40 tahun di Padang Tih. Dalam masa menunggu kembalinya umatnya tersebut, Nabi Harun AS wafat, ke­mudian me­nyusul Nabi Musa AS. Sedang perintah Allah SWT untuk tetap memasuki kota Peles­tina masih berlaku. Lalu siapakah yang melanjutkan dakwah mereka?

Allah telah menujuk Yusya’ bin Nun menjadi penerus dakwah Nabi Musa. Yusya’ sendiri adalah murid Nabi Musa, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, “Dan ketika Musa berkata kepada muridnya.” – QS Al-Kahfi (18): 61. Juga firman-Nya, “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, ‘Bawalah kemari makanan kita. Sesung­guhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ke sini’.” – Al-Kahfi (18): 62. Ibnu Katsir, penafsir Al-Qur’an, meng­isyaratkan bahwa Yusya’ bin Nun inilah yang menemani Musa dalam per­jalanannya menemui Khidlir AS.

Dalam hadits shahih juga disebutkan bahwa sebuah riwayat dari Ubay bin Ka’ab yang menunjukkan bahwa dia adalah Yusya’ bin Nun. Adapun Yusya’ bin Nun sendiri, menurut kesepakatan umat dan Bani Israil, adalah seorang nabi. Ia menanggung cobaan dan per­masalahan kaumnya sesudah wafatnya Nabi Musa.

Sebelum wafat, Nabi Musa telah mengambil perjanjian 12 orang sebagai pemimpin, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Ma’idah (5): 12. Jika me­reka melaksanakan apa yang diwajibkan Allah, tidak menghindarinya seperti pen­dahulunya, itu akan menjadi penghapus dosa yang menjadikan mereka dihukum di Padang Tih.

Bani Israil terdiri dari 12 keturunan. Para pemimpin mereka menuliskan nama-nama orang yang hendak berang­kat perang dari orang-orang yang masih kuat membawa senjata dan mampu ber­perang. Mereka pun melaksana hal itu. Hanya saja kemudian Nabi Musa wafat, kemudian digantikan Yusya’ bin Nun.

Dalam masa transisi ini muncul kasus Bal’am bin Ba’ura, seorang rabbi Yahudi yang berkhianat kepada musuh, sehingga melemahkan semangat per­juangan kaum Yahudi. Namun akhirnya rintangan dapat ditepis, dan generasi muda Yahudi tetap teguh berperang merebut kota Palestina, sebagai tanah yang dijanjikan Allah untuk mereka.

Generasi muda Yahudi yang berko­bar semangat jihadnya itu kemudian me­ngepung kota Palestina. Namun di te­ngah pengepungan tersebut, masih saja terjadi kejahilan watak Yahudi yang kam­buh ketika mendapat kesempatan. Yaitu, mereka berbuat maksiat, berupa pen­curi­an barang.

Mereka mengumpulkan harta curian itu di atas bukit. Menurut tanda yang me­reka terima, apabila harta curian itu di­terima Allah, akan ada api putih yang me­nyambar. Namun apabila ada peng­khianatan, tidak akan ada api yang da­tang melenyapkan harta tersebut. Harta itu akan ada seperti semula.

Hal tersebut ada dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Was sallam bahwa beliau bersabda, “Sesung­guhnya matahari itu tidak ditahan bagi manusia kecuali bagi Yusya’ (bin Nun) pada malam-malam yang lewat pada Baitul Maqdis.” Lalu beliau bersabda kepada kaumnya, “Tidak termasuk pe­ngikutku seseorang yang memiliki bebe­rapa istri dan dia ingin berbuat baik ke­pada mereka tetapi ternyata dia tidak berbuat baik kepada mereka. Tidak juga orang yang telah membangun sebuah bangunan tetapi tidak meninggikan atap­nya. Juga tidak orang yang membeli se­ekor kambing dan dia menunggu istrinya melahirkan. Maka kemudian dia berang­kat perang dan mendekat pada desa tujuan ketika waktu shalat Ashar, atau yang mendekatinya (Dalam satu riwayat disebutkan: Lalu dia bertemu dengan musuh ketika matahari mulai tengge­lam). Dia pun berkata kepada matahari, “Kamu diperintah, aku pun diperintah, Ya Allah, tahanlah dia (matahari) barang beberapa saat, maka matahari itu pun di­tahan. Hingga Allah memberikan ke­menangan bagi mereka dan mendapat­kan harta rampasan. Mereka lalu meng­umpulkan harta rampasan itu, agar api menyambutnya dan segera mengha­ngus­kannya. Namun api tidak mau me­nyambutnya. Jika mereka mendapatkan harta rampasan, biasanya Allah akan mengutus api untuk memakannya. Allah berfirman, ‘Ada kecurangan di antara ka­lian, maka hendaklah kabilahmu mem­bayar dengan seorang laki-laki.’ Allah berfirman, ‘Ada kecurangan di antara kalian, maka hendaklah kabilahmu ber­bai’at kepada-Ku.’ Mereka pun berbai’at kepada-Nya, maka diserahkan dua atau tiga orang. Allah berfirman, ‘Ada kecu­rang­an di antara kalian, adakah kalian telah melakukan kecurangan?’ Mereka lalu mengeluarkan sesuatu yang menye­rupai kepala sapi dari emas itu di atas bu­kit, maka api pun menerima harta ram­pasan tersebut. Harta rampasan tidaklah halal sedikit pun bagi umat sebelum kita (yaitu umat sebelum Nabi Muhammad), karena Allah melihat kelemahan dan ke­kurangan kita, maka Dia pun menjadikan harta rampasan perang (ghanimah) itu halal bagi kita (umat Muhammad).”

Kaum itu melihat bahwa matahari ditahan untuk mereka. Meskipun begitu, mereka tetap mencuri! Itulah kecintaan bangsa Yahudi terhadap harta dunia yang telah menipu diri mereka sendiri.

Tabiat kaum Yahudi masih tetap ber­tahan untuk beberapa waktu dan tidak terpisah dari diri mereka.

Allah memerintahkan mereka dalam firman-Nya, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kalian ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak, di mana yang kalian sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah ‘Bebaskanlah kami dari dosa’, niscaya Kami ampuni kalian atas kesalahan-kesalahan kalian, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik.” – QS Al-Baqarah (2): 58.

Allah memerintahkan mereka untuk me­masuki Baitul Maqdis dengan ber­sujud dan mensyukuri nikmat-nikmat yang diberikan kepada mereka. Diperin­tahkan pula kepada mereka untuk me­mohon, “Ya Rabbi, hapuskanlah dosa-dosa kami.”

Namun, mereka melakukan itu se­mua dengan maksud meremehkan pe­rintah Allah. Seperti disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersab­da, “Dikatakan kepada Bani Israel: Ma­sukilah pintu Baitul Maqdis dengan ber­sujud dan katakanlah ‘Hapuskanlah (dosa)…’ Mereka lalu masuk ke Baitul Maqdis dengan merangkak dan mereka mengganti dengan ‘Hapuskanlah biji yang ada di helaian rambut…”

Karena itulah, siksaan dipercepat bagi mereka, seperti yang difirmankan Allah, “Lalu orang-orang yang zhalim yang mengganti perintah dengan (me­ngerjakan) yang tidak diperintahkan ke­pada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik.” – QS Al-Baqarah (2): 59.

Adzab yang ditimpakan kepada kaum Yahudi waktu itu adalah muncul­nya wabah kusta, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits dari Usamah bin Zaid dari Nabi SAW, yang bersabda, “Kusta adalah adzab yang ditimpakan kepada orang-orang sebelum kalian.”

Penyakit kusta ini menyebar kepada orang-orang yang mengubah firman Allah dan perintah-Nya. Adapun yang lainnya segera masuk ke dalam Baitul Maqdis.

Yusya’ bin Nun lalu hidup bersama me­reka dengan kehidupan yang ditakdir­kan Allah agar dia menyaksikan kebejat­an moral kaumnya. Mereka itulah yang meremehkan para nabi.

Kebejatan moral Yahudi tidak ber­henti sesudahnya, bahkan sampai se­karang!

Label: , ,