Simson Ade Suseno
Ibu. Kata tersebut begitu sejuk dilantunkan. Terasa indah didengarkan, dan begitu menggugah jika diselami maknanya. Dan ''Ibuku'', tulis pujangga Kahlil Gibran, menjadi sebutan paling indah dalam hidup; kata yang penuh semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu, yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah wujud ketulusan, simbol keikhlasan. Ibu selalu memberi dan tidak pernah berharap menerima. Dia tidak hanya melahirkan anak-anak manusia penerus bangsa, tetapi juga membesarkan putra-putri mereka untuk menjadi permata di kehidupannya. Menjadi berlian yang menerangi dunia, seperti matahari yang menyinari seisi alam.

Ketulusan ibu tak terhingga. Tak ada batasnya. Luasnya laut, tingginya gunung, dan buih-buih awan di langit jika dikumpulkan, masih tidak mampu menandingi keluasan hati seorang ibu kepada anak-anaknya. Demi para buah hatinya, dia tidak peduli hujan badai atau petir menggelegar. Dia tetap membawa anak-anaknya untuk menatap matahari, menjangkau semesta alam, untuk berbuat kebajikan.

Dengan denting-denting indah, Iwan Fals mengibaratkan kasih ibu seperti udara sehingga kita pun tidak mampu membalasnya. Tak heran, jika kemudian ibu disamakan sebagai fondasi utama sebuah negara. Masa depan bangsa tergantung ibu dan sifat-sifatnya itu.

Inilah yang tidak dimiliki sebagian pemimpin bangsa saat ini. Para pejabat, politikus, dan wakil rakyat lebih asyik dan bangga 'berjual-beli' posisi serta kepentingan dibandingkan mementingkan rakyatnya. Mereka memilih membela kepentingan partai politik dan pemimpin politiknya, ketimbang memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas.

Sikap ketulusan seorang ibu tidak ada dalam diri mereka. Karena itu, berbagai intrik pun dilakukan untuk menjatuhkan atau membunuh karakter lawan-lawan politiknya. Hal-hal kecil dibesar-besarkan, seolah-olah hal itu telah merusak kepentingan rakyat.

Yang menyedihkan, para pemimpin bangsa seperti lupa dengan pengorbanan seorang ibu. Mereka masih menelantarkan jutaan kaum ibu di Tanah Air; mengabaikan pendidikannya; membiarkan kesehatannya tak terurus dengan baik; dan menutup mata atas masih tingginya kematian para ibu.

Para pemimpin seolah tak peduli dengan masih banyaknya para permata jiwa ini yang harus bergulat dengan kemiskinan. Membesarkan anak-anaknya tanpa perhatian para petinggi negara, dan menjelajah hidup dari satu jembatan ke jembatan lain agar terhindar dari sengatan matahari dan basah kuyupnya hujan.

Tentu, Cut Nyak Dien, Kartini, Dewi Sartika, dan kaum perempuan pahlawan bangsa akan bersedih hati jika melihat masih banyak kaum ibu yang hidup terpinggirkan. Hati mereka hancur jika melihat ketamakan para pemimpin bangsa, yang kemudian mengabaikan para ibu dan membiarkan mereka hidup dalam kesengsaraan.

Ibu memang tidak berharap jasa-jasanya kembali, tetapi bukan berarti bangsa ini membiarkannya terus menangis. Sudah sepantasnya kita semua lebih peduli kepada kaum ibu yang keteguhan dan keikhlasan hatinya begitu luas. Semestinya, tak ada lagi cerita seorang ibu yang diusir dari rumah sakit bersalin karena tidak mampu membayar persalinan anaknya. Atau, kisah pilu ibu yang meregang nyawa di jalan karena tidak makan berhari-hari.

Kita juga tidak ingin lagi mendengarkan tingginya kematian ibu ketika dia melahirkan. Demi ibuku, ibu kita, matahari kita, sepantasnya kita bergandeng tangan menyejahterakan bangsa ini dengan penuh ikhlas.
Label: , |
Simson Ade Suseno
Sakinah, mawaddah wa rahmah (Samara) adalah seuntai kata yang didamba setiap keluarga. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang melangkah membangun mahligai perkawinan tanpa mengharapkan terwujudnya ketenteraman, cinta dan kasih sayang dalam rumah tangganya kelak.

Maka demi harapan itu pulalah orang berlomba mencarinya dengan visi dan persepsinya masing-masing. Ada yang beranggapan bahwa samara akan diperoleh apabila terpenuhinya aspek material, sehingga mereka berlomba mencarinya dalam rumah-rumah megah, dalam mobil-mobil mewah atau dalam tumpukan harta yang melimpah. Sementara yang lain mengira bahwa samara ini hanya akan terwujud dengan lantunan dzikir dan untaian do'a yang tak kenal lelah, sehingga mereka tak jemu menunggunya dengan hanya bermunajat di dalam rumah.

Namun ternyata mereka tidak mendapatkan samara di dalam itu semua. Kalaupun terkadang muncul perasaan bahagia, kebahagiaan itu dirasakan semu belaka. Sebab rasa bahagia, sedih, tenang, gelisah, tenteram, galau, cinta dan kasih sayang, itu semua terletak di di dalam kalbu.

Kalbu adalah tempat bersemayamnya perasaan sakinah, mawaddah wa rahmah. Oleh karenanya, untuk mendapatkan samara, setiap pasangan perlu melakukan pra-kondisi terhadap kalbu agar siap menerima kehadirannya. Tanpa pengondisian hati atau kalbu, niscaya ia tidak mendapatkannya sama sekali.

Resep Rumah Tangga Samara

Apabila setiap pasangan menginginkan terbentuknya rumah tangga yang penuh dengan nuansa sakinah, mawaddah dan rahmah, maka ia perlu mengikuti resep yang diberikan Allah swt dalam untaian ayat-Nya berikut ini:

"Di antara tanda- tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, sehingga kamu merasa tenteram (sakinah) dengannya, dan dijadikan-Nya diantara kalian rasa cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Dan di dalam itu semua terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (QS. Ar-Ruum:21).

Ayat ini menarik, sebab bukan saja mengandung tuntutan normatif, tetapi juga sekaligus merupakan tuntunan metodologis dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Ayat ini memberikan sebuah pelajaran, bahwa untuk mendapatkan samara setiap muslim harus mengikuti rumusan Rabbaniyah, yaitu: zawaj ---> sakinah ---> Mawaddah wa rahmah. Maksudnya, sakinah yang bersifat thabi'i itu hendaknya dicari di dalam, atau setelah zawaj (pernikahan), bukannya di luar pernikahan. Karena itu Islam tidak mengenal konsep pacaran atau perselingkuhan. Sehingga mahligai rumah tangga terjaga kebersihan dan kesuciannya. Dengan demikian, barulah Allah swt. menganugerahkan mawaddah dan rahmah-Nya kepada pasangan ini. Sebab, pemberian mawaddah dan rahmah ini adalah hak prerogatif Allah, dan merupakan kado istimewa yang hanya diberikan Allah swt. kepada rumah tangga yang diridloi-Nya.

Formulasi inilah yang disebut dengan resep taqwa. Artinya, rumah tangga samara hanya bisa terwujud apabila para pelakunya tetap berada dalam bingkai taqwa, bingkai ketaatan kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dan taqwa itu letaknya di hati, sebagaimana sabda Rasulullah: "At-taqwa ha huna" (taqwa itu letaknya di sini, sambil menunjuk dadanya). Dan hati yang akan dianugerahi samara oleh Allah , hanyalah hati yang telah ter-shibghah oleh nilai-nilai taqwa.

Antara Taqwa dan Samara

Dalam setiap khutbah nikah, Rasulullah saw. selalu membaca rangkaian dari tiga ayat Al-Qur'an yang begitu padat berisi pesan-pesan untuk menggapai kesuksesan berumah tangga. Di dalam kesuksesan ini tentu terkandung nilai-nilai sakinah, mawaddah wa rahmah.

"Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlan kalian sekali-kali mati melainkan dalam keadaan muslim (tunduk dan patuh)". (Qs. Ali Imran:102).

"Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Rabb mu yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memberikan keturunan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan kasih sayang. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian". (Qs. An-nisa:1).

"Wahai orang-orang yang beriman , bertaqwalah kalian kepada Allah, dan berkatalah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah meningkatkan kualitas amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barang siapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan (kesuksesan) yang besar". (Qs. Al-Ahzab: 70-71).

Rangkaian ayat-ayat diatas merupakan paradigma dalam membentuk rumah tangga samara. Ketiga ayat tersebut sarat muatan taqwa. Tidak mungkin sebuah rumah tangga mendapatkan samara, kecuali apabila sejak awal proses pernikahannya (bahkan proses pra nikah) hingga mendapatkan keturunan, selalu berjalan di atas rel taqwa.

Dalam Surat Ali Imran ayat 102, terkandung pesan hendaknya setiap mu'min, khususnya yang berniat membangun rumah tangga, mengokohkan kembali status keimanannya. Bahkan meningkatkan kualitasnya hingga mencapai derajat taqwa yang sebenarnya. Persiapan ini diperlukan bukan saja hanya untuk melaksanakan sunnah Nabi tersebut, tetapi juga untuk menjalankan proses pernikahan yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sekaligus untuk menjaga kesucian ibadah.

Di surat An-Nisa ayat pertama, mengandung pesan yang lebih khusus mengenai tuntutan sekaligus tuntunan membina rumah tangga samara.

Pertama, Taqwa dalam hal terkait dengan aspek Rububiyah. Bahwa Allah swt. telah menciptakan semua makhluk (termasuk manusia) berikut pasangannya. Karena itu manusia tidak perlu galau dan gelisah dalam masalah jodoh, apalagi melakukan tindakan-tindakan yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya. Yang diperlukan adalah persiapan diri untuk menerima jodoh dari Allah sesuai kufu-nya pada saat itu.

"Maha suci Rabb yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik segala yang ditumbuhkan bumi, diri mereka (manusia), maupun apa-apa yang tidak mereka ketahui". (Qs. Yaasin: 36).

Kalau seorang ingin mendapat pasangan yang shalih atau shalihat, maka dia harus mengondisikan diri untuk menjadi pribadi yang shalih atau shalihat. Sebab Allah swt tidak mungkin menzhalimi hamba-hamba-Nya. Dia Maha Adil, dan hanya mempertemukan jodoh dengan kualitas yang sesuai dengan kualitas ketaqwaan pasangannya pada waktu itu. Pasangan kita adalah cermin diri kita sendiri. Bagaimana kondisi keshalihan atau keshalihatan pasangan kita, begitulah kondisi kita ketika mendapatkannya.

Allah swt memaparkan aksioma ini dalam ayat-Nya yang indah: "Laki-laki pezina tidak akan menikah (mendapatkan jodoh) kecuali dengan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mu'min" (QS. An-Nur, 24:3).

"Wanita-wanita yang jahat adalah untuk laki-laki yang jahat, dan laki-laki yang jahat adalah untuk wanita yang jahat pula; dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanitwanita yang baik pula" (QS. An-Nur, 24:26).

Disamping itu, Allah lah yang berkehendak apakah seseorang itu akan diberi keturunan atau tidak. Sehingga, rumah tangga tidak perlu goyah hanya lantaran suara tangisan bayi belum juga kunjung terdengar. Dia pula yang menentukan apakah rumah tangga itu dikaruniai keturunan berupa anak laki-laki atau anak perempuan. Semua sama dimata Allah. Tidak ada hak bagi anggota rumah tangga itu untuk kecewa.

"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahi kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang Dia kehendaki), dan Dia menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa" (QS. Asy-Syura, 42:49-50).

Kedua, adalah taqwa yang berkait dengan aspek uluhiyyah. Bahwa ketenteraman batin dan kasih sayang yang hakiki yang dirasakan seseorang di dalam perkawinan merupakan kepuasan psikologis yang tidak mungkin didapatkan diluar perkawinan. Ketenteraman ini bukanlah seperti ketenteraman yang diperoleh seseorang ketika terlepas dari bermacam kesulitan atau beban pikiran, atau ketenteraman yang datang karena mendapatkan benda-benda yang menyenangkan. Tetapi diperoleh karena kepuasan hati yang dilandasi cinta kasih yang hakiki.

Ikatan cinta kasih antara suami-isteri, berbeda dengan ikatan cinta antara teman. Ikatan ini mengandung rahasia yang hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Bagi orang yang mau menghayati tanda-tanda kebesaran Allah, akan dapat merasakan bahwa sakinah, mawaddah, wa rahmah betul-betul merupakan pengejawantahan dari ikatan hati yang telah dipadukan Allah dalam selimut kasih sayang-Nya.

Allah swt adalah Sang Penyatu hati. Maka kepada-Nyalah kita memohon dipadukan hati, dan memohon mawaddah dan rahmah-Nya.

"Dan Allah-lah yang mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Anfal, 8:63).

Tetapi untuk mempersatukan hati di antara manusia, memerlukan syarat. Syaratnya, hati itu telah ter-shibghah dengan nilai-nilai taqwa. Surat An-Nisa' ayat pertama di atas ditutup dengan kalimat: "Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian". Ini mengandung pesan bahwa, hendaknya manusia jangan sekali-kali berani melakukan tindak pelanggaran syari'at Allah dalam proses membangun rumah tangga ini, sebab Dia Maha Melihat lagi Maha Mengetahui.

Sedangkan di dalam surat Al-Ahzab ayat 70-71, terkandung pesan agar selalu menjaga perkataan dan sikap atau perilaku yang benar dalam berumah tangga. Inilah resep membangun rumah tangga samara yang dibingkai oleh nilai-nilai taqwa.

Fungsionalisasi peran suami isteri

Setelah meletakkan paradigma yang benar, langkah selanjutnya dalam mewujudkan rumah tangga samara adalah melakukan fungsionalisasi peran suami dan isteri secara proporsional dan adil. Secara tersirat Allah swt telah menggariskan masalah ini dalam salah satu ayat-Nya:

"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka hingga menyempitkan (hati) mereka". (QS. Ath-Thalaq:6).

Sebagai penjelas ayat tersebut, Allah swt menjabarkan fungsi-fungsi yang harus ditegakkan suami isteri untuk terwujudnya samara, dalam ayat berikut:

"Kaum laki-laki adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang shalihat, adalah yang tunduk dan taat (qanitat) serta mampu menjaga (hafizhat) ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka". (QS. An-Nisa':34).

Apabila diilustrasikan secara singkat, maka membangun rumah tangga samara itu seperti layaknya membangun rumah yang proses pembangunannya meski dikerjakan secara berurutan, dan menempatkan bagian-bagian rumah tersebut secara tepat dan harmonis. Sebagai fondasinya adalah taqwa. Kemudian, di atas fondasi itu dibangun pilar-pilar atau tiang-tiang utama yang berupa sifat qawwam suami. Tegak atau condongnya pilar qawwam ini akan mempengaruhi tegak atau condongnya bangunan yang nantinya akan berdiri.

Setelah itu, di atas fondasi yang sama dan bersandar pada tiang-tiang utama tadi, dibangunlah dinding yang berfungsi sebagai pembentuk bangunan tadi, pembatas dari area luar dan penyekat antara ruangan. Cantik atau tidaknya bangunan, tergantung dari penempatan dan pengaturan dinding tadi. Dinding ini adalah sifat shalihat seorang isteri.

Pada dinding tadi, dibuat pula jendela yang berfungsi sebagai pengatur keluar masuknya cahaya matahari dan udara segar. Makin baik jendela tadi berfungsi, tentu makin lancar pula sirkulasi cahaya dan udara segar. Jendela inilah sifat qanitat isteri.

Pada dinding itu pula tentu dibuat pintu, yang berfungsi sebagai tempat lalu lalangnya orang-orang yang keluar masuk rumah. Pada saat-saat tertentu pintu itu dibuka, dan di saat-saat tertentu ditutup. Inilah fungsi hafizhat seorang isteri.

Tetapi walaupun itu semua telah dibuat dan ditegakkan, belumlah bangunan tadi disebut rumah. Sebab ia membutuhkan atap sebagai pelindung dari panas maupun hujan. Ketika panas, ia berfungsi sebagai peneduh dan penyejuk. Ketika hujan ia berfungsi sebagai pemayung dan penghangat. Inilah yang disebut Al-Qur'an sebagai Mu'asyarah bil-ma'ruf, yang harus ditegakkan di dalam kehidupan berumah tangga.

"Dan pergaulilah pasanganmu dengan ma'ruf (baik). Apabila kamu tidak menyukai (salah satu sifat) mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (di sisi lain)". (QS. An-Nisa:19).

Manakala setiap pasangan menjalankan fungsi-fungsi tadi dengan baik, yakinilah bahwa Allah swt pasti akan memberikan kado istimewa-Nya berupa rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Wallahu a'lam bish-shawab.
Label: , |
Simson Ade Suseno
Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil.
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?
1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolongan kepada mereka yang mengambil langkah ini;
“Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, di samping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga di mana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang di luar kesanggupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya. Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:
Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.
Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40).
Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan.
Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”.
Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”
Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan. Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).
Label: , |
Simson Ade Suseno
Kutipan dari : http://youlis77lafine.wordpress.com/
Oleh: Amrina Rosyada, S. Psi.
Setiap waktu tak ada orang tua yang tidak memikirkan nasib anak-anaknya. Juga nasib anak-anak lain, khususnya di negeri ini. Mengapa demikian? Tidak lain, karena banyaknya kasus yang ada di media mengungkapkan berbagai permasalahan anak.
Kasus Gizi Buruk dan Busung Lapar
Di tanah air, sampai dengan November 2005 tercatat 71.815 balita menderita gizi buruk. 232 diantaranya meninggal dunia. Perinciannya : 3438 di Nusa Tenggara Barat, 33 meninggal, 12.028 di Jawa Tengah, 94 meninggal; 13.969 di Nusa Tenggara Timur, 52 diantaranya meninggal. 56 kasus di Riau, 4 diantaranya meninggal. 3.763 kasus di Nangroe Aceh Darussalam, 8 meninggal. 1.155 kasus di Papua, 3 meninggal. 95 kasus di Kalimantan, 5 meninggal. 5 kasus di Maluku, 1 meninggal (Suara Pembaharuan, 11/2/06).
Kasus Buta Aksara dan Putus Sekolah
Akibat kemiskinan, dunia pendidikan terkena dampaknya. Banyak keluarga miskin tak mampu menyekolahkan anaknya. Direktur Kesetaraan PLS Depdiknas Ella Yulaelawati mengatakan, data 2005 menunjukkan bahwa siswa SMP yang putus sekolah mencapai 1.000.746 dan siswa SMA/SMK mencapai 151.976. Jumlah penduduk yang buta aksara mencapai 14,6 juta. Sementara itu, Anak Usia Dini belum banyak yang terlayani. Yang terlayani baru 1,4 juta (12,5 % dari 11,9 juta anak usia 2-4 tahun). (Waspada.co.id, 14/7/06)
Ancaman Televisi
Sekitar 60 juta anak Indonesia menonton TV selama berjam-jam sepenjang hari. Berdasarkan penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2002, di Jakarta misalnya, anak-anak menghabiskan sekitar 30- 35 jam di depan TV selama seminggu. Artinya, setiap tahun mereka menghabiskan waktu sebesar 1560-1820 jam. Angka ini lebih banyak daripada jam belajar anak SD yang tidak sampai 1000 jam per tahun.
Apa yang ditonton? Anak-anak menonton acara TV tanpa ada batasan. Keluarga pada umumnya tidak membatasi tontonan TV bagi putra-putrinya. Mereka menonton berita kriminal yang berdarah-darah, gosip selebritis, sinetron yang penuh kekerasan, kebebasan seks, intrik, mistik, rekaan azab, hantu, setan siluman, grup musik yang berpakaian seksi dan sebagainya.(Bisnis. com, 21/07/06).
Ancaman Makanan Anak (Rawan Kanker dan Formalin)
Sekitar 75% snack anak-anak yang dijual di pasaran, rawan kanker karena menggunakan bahan tetracin. Antara lain terkandung dalam jelly drink, jelly agar, minuman dan permen.
Baru-baru ini ditemukan BPOM Diepkes adanya berbagai produk permen susu yang mengandung formalin.
Ancaman Pornografi dan Seks Bebas
Yayasan Kita dan Buah Hati melakukan survey sepanjang tahun 2005 pada anak-anak usia 9-12 tahun, dengan responden 1.705 anak di Jabotadebek.Ditemukan, 80% anak-anak sudah mengakses materi pornografi dari erbagai sumber, antara lain: komik, VCD/DVD dan situs-situs porno. Survey lain, dari BKKBN 2002 menyebutkan, 40% remaja pernah berhubungan seks sebelum nikah. BBC dan CNN pada tahun 2001 melaporkan, Indonesia dan Rusia merupakan pemasok terbesar materi pornografi anak, dimana anak ditampilkan dalam adegan-adegan seksual (Republika, 21/5/06).
Ancaman Kekerasan Fisik dan Psikis
Menurut Komnas Perlindungan Anak selama tahun 2005, ditemukan 736 kasus kekerasan terhadap anak, terbagi: 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis dan 130 penelantaran anak.(Tempointeraktif.com. 13/1/06)
Perdagangan dan Eksploitasi Seksual Anak
Sekjen Komnas Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait mengemukakan, Indonesia merupakan pemasok perdagangan anak dan wanita (traficking) terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaganya, terdapat sekita 200 sampai 300 ribu Pekerja Seks Komersial ( PSK) berusia di bawah 18 tahun.
Penculikan
Kasus penculikan Raisya Ali Said bulan Agustus ini menambah daftar permasalahan anak. Di Jakarta saja, selama bulan Juli sampai Agustus terdapat 14 kasus penculikan. Diantaranya ada yang terbunuh.
AKAR MASALAH
Dari fakta di atas, kita dapat melihat demikian kompleksnya masalah yang mendera buah hati kita. Jika kita runut akar masalahnya, dapat dikembalikan pada 3 pihak yang ikut bertanggungjawab atas persoalan ini. Yaitu: Orangtua/keluarga, media dan negara.
Pihak Orangtua/Keluarga. Kondisi ekonomi yang sulit dan tingkat ketaqwaan yang rendah membuat orangtua tega mengorbankan anak-anak mereka. Memaksa anak usia dini bekerja. Bahkan tega menjual anak untuk menjadi PSK. Diantara mereka, ada pula anak-anak yang menjadi korban brokenhome. Mereka berperilaku negatif seperti pecandu narkoba atau terjerumus seks bebas.
Pihak Media. Media massa terutama televisi, secara langsung ataupun tidak ikut andil mendorong adanya kasus yang mendera anak-anak kita. Kasus kriminalitas anak, terinspirasi dari tayangan kekerasan dalam TV. Melalui sinetron anak-anak mendapatkan contoh yang mereka tiru, baik berupa pergaulan bebas maupun kekerasan.
Pihak Negara. Kebijakan pemerintah yang berpihak pada asing mengakibatkan hilangnya pendapatan negara yang sangat besar yang semestinya dapat mensejahterakan rakyat. Karenanya, banyak keluarga menjadi miskin. Dengan kondisi ini, anak menjadi korban kemiskinan struktural. Mereka tidak lagi mendapatkan hak dalam hal jaminan pendidikan dan kesehatan.
ISLAM SATU-SATUNYA SOLUSI
Jika kita mencermati masalah di atas, muara seluruh masalah yang menghimpit buah hati kita adalah karena penerapan sistem Kapitalisme, yang berakar pada sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Untuk itu dibutuhkan aturan yang terbaik yang dapat mengentas persoalan anak-anak kita sampai tuntas. Itulah aturan Islam. Aturan dari Sang pencipta. Islam sangat menghargai anak-anak sejak usia dini. Bahkan ketika masih dalam kandungan. Ibu mendapat kewajiban mengasuh anaknya yang belum mumayyiz ( belum mandiri dalam mengurus diri). Islam memberikan tuntunan pada orangtua untuk meneladani Rosululloh dalam memperlakukan anak-anak. Rosul sangat menyayangi anak-anak. Orangtua dapat menggendong anaknya ketika sholat. Rosululloh pernah menegur seorang ayah yang memarahi anaknya karena ngompol di pangkuannya. Teguran Rosululloh tentang peristiwa ini: ”Bekas najis lebih mudah dihilangkan dibandingkan luka di hati…” tampak bahwa Rosululloh sangat memperhatikan kondisi psikis anak.
Islam menetapkan kewajiban memberi nafkah bagi suami pada istrinya dan anak-anaknya. Jika mereka tak mampu, negara wajib memberi santunan. Dengan demikan, tak ada anak yang harus ikut membantu orangtua bekerja mencari nafkah.
Islam sangat memperhatikan lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang. Hal-hal yang tidak kondusif bagi perkembangan anak harus dihilangkan. Media-media yang merusak kepribadian anak (mengekspos kekerasan dan pornografi-pornoaksi) dilarang. Sehingga akan dihadirkan lingkungan yang penuh dengan perlindungan dan kenyamanan bagi tumbuh kembang generasi yang bahagia, sehat, cerdas dan unggul.
Masa depan permata hati kita, sangat bergantung pada sistem yang menopang kehidupan ini. Yang mampu mendorong keluarga dan masyarakat untuk turut andil dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang baik. Hanya Islam yang memiliki solusi untuk menghargai anak sebagai aset masa depan bangsa.
BAGAIMANA KIPRAH KITA?
Menyikapi demikian banyaknya persolan anak, sebagai muslimah, baik sebagai ibu ataupun calon ibu, kita patut senantiasa:
1. Meningkatkan ketaqwaan kepada Alloh SWT
Senantias terikat dengan aturan Alloh SWT. Menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
2. Mengkaji ajaran Islam
Islam adalah agama yang memiliki aturan yang paripurna. Mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk tentang hak anak (hak hidup, hak mendapatkan nafkah, hak pengasuhan, hak mendapatkan pendidikan dan kesehatan dsb.)
3. Memiliki kepedulian terhadap Masalah Anak
Mengingat masalah anak bukanlah masalah individu orangtua semata, tetapi merupakan masalah masyarakat, maka mutlak dibutuhkan peran tokoh-tokoh masyarakat termasuk dalam hal ini para dosen yang menempati posisi strategis di mata masyarakat untuk melakukan proses penyadaran dan pembinaan untuk peduli masalah anak guna menyelamatkan generasi. Patut kita sadari, kita saat ini tengah berada dalam upaya penghancuran generasi oleh musuh-musuh Islam pengemban ideologi Kapitalisme.
Label: , , |